Kamis, 11 Oktober 2012

Pembagian Hadis



PEMBAGIAN HADITS


A. Pembagian Hadits dari Segi Kuantitas Sanad



1. Hadits Mutawatir Dan Syarat-Syaratnya

Menurut bahasa, kata al-Mutawatir, memiliki makna yang sama dengan kata al-tatabu’u/ al-mutatabi’, yang artinya beriringan atau berturut-turut dan beruntun. Sedangkan menurut makna istilah (secara tehnis)
“adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang, bersadarkan panca indra , yang menurut adat , mustahil mereka terlebih dahulu melakukan kesepakatan bohong, Kaadaan periwayatan ini terus menerus demikian sejak thabaqat pertama sampai yang terahir.[1]

Dari pengertian di atas , maka ada empat persyaratan yang harus dipenuhi oleh hadits mutawatir :
1.       Diriwayatkan sejumlah besar perawi.
2.       Adanya konsistensi jumlah perawi pada setiap thabaqat. Artinya jika salah satu dari tingkatan sanad tersebut ada yang tidak mencapai jumlah minimal yang ditetapkan, maka sanad tersebut tidak dikategorikan sebagai sanad yang mutawatir, tetapi disebut sebagai sanad yang ahad..
3.       Jumlah perawinya harus mencapai suatu ketentuan yang menurut adat tidak akan terjadi  kesepakatan bohong. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang berapa jumlah minimalnya. Sebagian ulama menetapkan jumlah minimal terdiri atas 4, 5 , 10 orang (mengacu pada ketentuan jama’ katsrah).[2]. Sebagian ulama yang lain menetapkan minimal 20 orang dengan mengacu kepada ketentuan yang disebut ayat 65 al-Anfal:

ان يكن منكم عشرون صا برون يغلبوامائتين

4.       Periwayatan yang disampaikan harus berdasar tangkapan panca indra.[3] Biasanya dalam periwayatan menggunakan lambang  سمعنا  atau  راينا  

Hadits mutawatir dibagi menjadi tiga bagian; yaitu :
1.       Hadits Mutawatir Lafdzi. Yaitu hadits mutawatir yang diriwayatkan dengan menggunakan lafadz dan makna yang sama.
2.       Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadist mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda, tetapi apabila dikumpulkan mempunyai makna umum yang sama. Contohnya adalah hadits tentang mengangkat tangan sewaktu berdo’a di luar shalat. Dari redaksi yang berbeda akan diperoleh sekitar seratus hadits.
3.       Hadits Mutawatir Amali, yaitu  amalan agama (ibadah) yang dikerjakan Rasulullah, kemudian diikuti para sahabat , lala para tabi’in dan seterusnya sampai pada generasi kita sekarang ini. Contohnya adalah tentang jumlah rekaat shalat fardlu. Walaupun periwayatan verbalnya tidak mencapai mutawatir tetapi secara amali telah menjadi ijma’ul ummat.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa keyakinan yang diperoleh dari hadits mutawatir, sama kedudukannya dengan keyakinan yang diperoleh melalui kesaksian langsung dengan panca indra. Oleh karena itu ia berfaidah sebagai ilmu dharuri (pengetahuan yang mesti diterima), sehingga membawa keyakinan yang qath’i. Oleh karena itu petunjuk yang diperoleh dari hadits mutawatir wajib diamalkan.[4]

Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار


"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."

Silsilah/urutan rawi hadits di atas antara lain sebagai berikut :


Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut di atas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.

Contoh : hadis mutawatir maknawi adalah

ما رفع رسول الله صلى الله عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض إبطيه في شيء من دعائه إلا في الإستسقاء

Artinya:
"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)

Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Dalam penelitian al-Suyuthi terdapat 100 periwayatan yang menjelaskan bahwa Nabi saw mengankat tangannya ketika berdo’a dalam berbagai kesempatan yang berbeda-beda, seperti dalam shalat istisqa’ , pada saat hujan dan angin ribut, dalam waktu pertempuran dan sebagainya. Hadits yang semakna dengan contoh di atas antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :

كان يرفع يديه حذو منكبيه
Artinya :
"Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."

Contoh :hadits mutawatir amali antara lain adalah kita melihat di mana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai keyakinan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian, padahal jika kita perhatikan periwayatan verbalnya tidak mencapai mutawatir, tetapi diamalkan secara mutawatir.

Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, terdapat juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam kategori mutawatir maknawi. Oleh karenanya menurut sebagian ulama’ hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.


2. Hadits Ahad dan Pembagiannya

Hadits ahad adalah  hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang, atau dua orang, atau lebih tetapi belum cukup syarat untuk memasukkannya kedalam kategori mutawatir.[5]
هو مالاينتهي إلى التواتر
Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir

Dari sisi kualitasnya, hadits ahad ada yang berstatus shahih, hasan dan ada yang berkualitas dha’if. Oleh karena itu penelitian terhadap kualitas sanad yang dijadikan sandaraannya sangat penting, sehingga dapat dipisahkan antara yang berstatus shahih, hasan dan yang dla’if.

Ditinjau dari segi banyak sedikitnya perawi pada tiap thabaqat, hadits ahad dibagi menjadi tiga macam :
1.       Hadits Masyhur, yaitu hadits yang diriwayatakan  oleh tiga orang atau lebih tetapi belum mencapai derajat mutawatir[6]. Sebagian ulama’ memasukkan hadits masyhur ini kedalam kategori mutawatir, tetapi para ulama Hanafiyah memasukkan di antara hadits mutawatir dan hadits ahad. Oleh karena itu  menurut mereka hadits masyhur dapat menjadi mukhassis ke-umumam al-Qur’an.[7]
Menurut ulama fiqih, hadits masyhur itu muradif dengan hadits mustafidl. Tetapi menurut pendapat ulama lainnya berbeda. Suatu hadits dinyatakan sebagai hadits mustafidl jika jumlah rawinya ada tiga orang atau lebih (tetapi belum mencapai mutawatir) sejak thabaqat pertama (shahabat) sampai thabaqat terahir. Sedangkan hadits masyhur bersifat lebih umum, artinya jumlah rawi pada tiap thabaqat tidah harus sama banyaknya (tidak harus seimbang). Oleh sebab itu dalam sanad masyhur, jumlah rawi pada thabaqat pertama (sahabat) dan thabaqat ke dua (tabi’in), bisa terjadi hanya terdiri atas satu orang rawi saja, kemudian jumlah rawi dalam thabaqat berikutnya cukup banyak.

Di antara contohnya adalah sebagai berikut :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنما الأعمال بالنية وإنما لامرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة يتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إليه

Hadits tersebut di atas diriwayatkan imam al-Bukhari dan Muslim dengan sanad sebagai berikut:













 
















2. Hadits Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh dua orang  pada sebagian thabaqatnya dan pada thabaqat lainnya ada yang lebih dari dua orang..[8] Dari pengertian ini berarti hadits Aziz bisa berpadu dengan istilah hadits Masyhur. Oleh karena itu sebagian ulama’ memberikan penjelasan bahwa kata Aziz dalam istilah ini bermakna kuat. Artinya, walaupun pada suatu thabaqat sanad terdapat hanya dua orang perawi, tetapi berhubung pada thabaqat lainnya diriwayatakan lebih banyak, maka hadits tersebut tetap dinilai kuat (aziz).
      Dengan demikian , maka yang dikatakan sebagai hadits yang bersanad aziz bukan hanya yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada tiap-tiap thabaqat : sejak thabaqat pertama hingga yang terahir saja, tetapi juga mencakup hadits-hadits yang di dalam salah satu sanadnya diriwayatkan oleh dua orang rawi dalam satu thabaqat. Di antara contohnya adalah hadits yang ditakhrij al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas bin Malik berikut:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه ووالده وولده والناس اجمعين

Hadits ini pada thabaqat sahabat diriwayatkan oleh Anas bin Malik, kemudian diriwayatkan kepada dua orang yaitu Qatadah dan Abd.Aziz bin Suhaib. Dari Qatadah dituturkan kepada dua orang yaitu Syu’bah dan Husain al-Mu’allim. Dari Abd Aziz diriwayatkan kepada dua orang pula yaitu Abd Warits dan Isma’il. Selanjutnya dari empat orang perawi tersebut diriwayatkan kepada perawi di bawahnya lebih banyak lagi.

 















2.       Hadits Gharib, yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam periwayatannya. Dalam hal ini para ulama membagi menjadi dua macam ; yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi. Jika sekiranya ke-ghariban itu mengenai personalia rawi, artinya tidak ada orang lain yang meriwayatkan kecuali hanya rawi itu sendiri, maka disebut gharib mutlak. Penyendirian rawi hadits gharib ini harus harus berpangkal pada aslus sanad , yaitu tabi’in, bukan sahabat, sebab yang menjadi pembicaraan mengenai diterima atau tidaknya perawi itu bukan pada sahabat. Para ulama sunni sepakat bahwa seluruh sahabat dinyatakan adil secara keseluruhan. Dalam pada itu penyendirian rawi dalam hadits gharib mutlaq bisa terjadi pada tabi’in saja (aslussanad), atau pada tabi’ tabi’in, atau terjadi pada keseluruhan rawi pada tiap-tiap thabaqat. Contoh sanad hadits gharib mutlaq adalah sebagaimana dituturkan al-Bukhari  - Muslim sebagai berikut:
قال النبي صلى الله عليه وسلم الإيمان بضع وستون شعبة والحياء شعبة من الإيمان

Hadits ini diriwayatkan melalui sahabat Abu Hurairah, kemudian dituturkan kepada Abu Shalih. Senjutnya oleh Abu Shalih diriwayatkan kepada Abdullah  bin Dinar, lalu dituturkan kepada Sulaiman bin Bilal. Oleh Sulaiman bin Dinar diriwayatkan kepada Abu Amir. Dari Abu Amir dituturkan kepada Abdullah bin Hamid, Ubaidillah bin Sa’id, dan Abdullah bin Muhammad. Dari Abdullah dan Ubaidillah diriwayatkan kepada imam Muslim. Sedang dari Abdullah bin Muhammad dituturkan kepada al-Bukhari.


 















Sedangkan jika ke-ghariban itu menyangkut sifat-sifat atau kaadaan tertentu seorang perawi, maka dinamai gharib nisbi.[9] Penyendirian perawi mengenai kaadaan atau sifat perawi ini mempunyai beberapa kemungkinan. Antara lain
    1. Tentang sifat keadilan dan kedlabitan (ke tsiqahan) rawi. Seperti hadits riwayat imam Muslim mengenai pertanyaan Umar bin Khattab kepada Abi Waqid al_laitsi tentang surat apa yang dibaca  Nabi saw dalam shalat dua hari raya. Abu Waqid menjawab :
كان يقرأ في الأضحى والفطر بق والقرأن المجيد واقتربت الساعة وانشق القمر

Hadits ini ditahrij oleh imam Muslim dan Daraquthni dengan sanad sebagai berikut:










 













Dlamurah bin Sa’id  al-Mazini , salah seorang perawi dalam sanad Muslim adalah perawi yang tsiqat. Ia meriwayatkan hadits dari Ubaidillah, dari  Abu Waqid al-Laitsi. Ia disifatkan menyendiri tentang ketsiqahannya jika dinisbatkan kepada perawi yang ada dalam sanad ad-Daraquqni, yaitu Ibnu Luhai’ah, yang meriwayatkan hadits dari Khal;id bin Yazid, dari Urwah, dari A’isyah. Ibnu Luhai’ah oleh Jumhur ulama’ dinilai lemah. Karena itu ia juga disifatkan menyendiri dalam ketidak tsiqahan.
    1. Tentang kota atau tempat tinggal tertentu. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh para perawi dari Bashrah

أمرنارسول الله صلى الله عليه وسلم أن نقرأ بفاتحة الكتاب وماتيسر منه

Hadits yang ditakhrij Abu Dawud ini memiliki sanad dari Abu Dawud at-Tayalisi, dari Hammam, dari Qatadah, dari Abu Nadhrah, dari Sa’id. Semua perawi ini dari kota Bashrah. Karena itu sanad ini disebut sebagai gharib nisbi. Untuk memperjelas keterangan ini disertakan skema sanad bersangkutan sebagai berikut :












 














Hadits Ahad bernilai dhanni. Oleh karena itu maka masih perlu dilakukan penelitian mengenai kualitas keabsahannya, sebab tidak semua hadits ahad itu shahih. Menurut para ulama , hadits ahad yang maqbul dan berkaitan dengan hukum maka menurut jumhur ulama, wajib diamalkan. Sedangkan yang menyangkut masalah aqidah, masih diperselisihkan.  Di atara mereka ada yang berpendapat bahwa hadits ahad yang maqbul bisa dijadikan dalil aqidah, sebab hadits ahad itu memberi faidah ilmu. Tetapi menurut pendapat yang lain menolak, sebab dailil aqidah haruslah berdasarkan keyakinan yang qoth’I, padahal hadits ahad itu nilainya dhanni.

Pendapat yang agak moderat menyatakan bahwa hadits ahad yang maqbul dapat saja dijadikan landasan aqidah , sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits lain  yang lebih kuat. [10]

B. Pembagian Hadis dari Segi Kualitas Sanad

1. Hadits Shahih

Hadits Shahih yaitu hadits yang sanadnya muttashil, diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatannya, tidak janggal dan tidak cacat (illat).[11]
Dari pengertian ini maka sutu hadits dapat dinilai sebagai hadits shahih apabila memenuhi syarat sebagai beriku :
  1. Sanadnya muttashil
  2. Sang perawi yang tergabung dalam sanad memiliki ingatan yang sempurna
  3. Perawinya bersifat adil
  4. Dalam sanad maupun matannya tidak terdapat illat
  5. Di dalam sanad maupun matan hadits tidak terdapat kejanggalan.
Hadits shahih ini terbagi menjadi dua macam, yaitu shahih lizatihi dan shahih li ghairihi.
Hadits shahih lidzatihi adalah hadits yang telah memenuhi lima persyaratan sebagaimana tersebut di atas, Sedangkan hadits shahih li ghairihi adalah hadits yang kaadaan perawinya kurang dhabith (hafalannya kurang sempurna) namun masih terkenal sebagai orang yang adil dan jujur, kemudian dikuatkan oleh jalur sanad lain, sehingga kekurangan yang ada tadi dapat tertutupi. Artinya hadist hasan yang dikuatkan oleh hadits serupa lainnya.[12]

2. Hadits Hasan

Hadits Hasan Yaitu hadits yang sanadnya bersambung , yang diriwayatkan oleh orang-orang yang adil , tetapi kurang dhabith. Tidak memiliki illat dan tidak terdapat kejanggalan. [13]
Dari pengertian definitif di atas, dapat diketahui bahwa persyaratan hadits hasan itu sebenarnya mirip dengan hadits shahih. Perbedaannya terletak pada  kekuatan hafalan para perawinya. Jika persyaratan hadits shahih  harus diriwayatkan oleh perawi yang sempurna ingatannya, maka hadits hasan cukup diriwayatkan oleh rawi yang ngatannya kurang sempurna.
Hadits hasan terbagi atas dua macam; yaitu hadits hasan li dzatihi dan hadits hasan  li ghairihi.
Hadits hasan lidzatihi adalah hadits yang memenuhi persyaratan hadits hasan secara lengkap. Sedangkan hadits hasan li ghairihi adalah hadits dhaif, tetapi ada petunjuk lain yang menguatkannya, sehingga statusnya naik menjadi hasan karena didukung faktot yang ada di luar dirinya.[14]
Imam Bukhari dan Ibnu al- Arabi menolak hadits hasan sebagai dalil penetapan hukum. Tetapi al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah dapat menerimanya sebagai hujjah dengan syarat tidak bertentangan dengan hadits yang shahih.[15]

3. Hadits Dha’if
Yang dimaksud hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi salah satu syarat hadits shahih dan hadits hasan.[16]
Hadits dhaif ini ada yang disebabkan karena terputusnya sanad, ada yang dhai’if karena perawinya cacat (lemah), dan ada yang dho’if disebabkan oleh matannya yang tidak memenuhi syarat.
Ada dua pendapat mengenai boleh tidaknya mengamalkan hadits dha’if. Pertama,  Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm dan Abu Bakar Ibnu al-Arabi berpendapat bahwa hadits dha’if sama sekali tidak boleh diamalkan, atau dijadikan hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum maupun untuk keutamaan amal.
Kedua, Imam Ahmad ibnu Hambal,  Abd. Rahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar al-Atsqalani menyatakan bahwa hadits dha’if dapat dijadikan hujjah hanya untuk keutamaan amal[17]  dengan syarat :
a.  Para rawi yang menyampaikan hadits tersebut tidak terlalu lemah
b. Masalah yang dikemukakan oleh hadits bersangkutan, mempunyai dasar pokok  yang ditetapkan al-Qur’an atau hadits shahih
c. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.

Hadits dha’if dikelompokkan menjadi beberapa bagian. Ada yang dha’if karena matannya cacat, dan ada yang karena sanadnya terputus, dan ada yang karena rawinya cacat.
1.      Dha’if Karena Sanad Terputus, yaitu (1) Hadits Mursal; (2) Hadits Munqathi’; (3) Hadits Mu’dhal; (4) Hadits Mu’allaq; (5) Hadits Mudallas.
2.      Dha’if karena cacat rawi / matannya, yaitu (1) Hadits Matruk; (2) Hadits Majhul; (3) Hadits Mubham; (4) Hadits Munkar; (5) Hadits Mu’allal; (6) Hadits Mudraj; (7) Hadits Maqlub; (8) Hadits Mudltharrib; (9) Hadits Mushahhaf dan Muharraf; (10) Hadits Syadz.[18]

C. Pembagian Hadits Dari segi Kehujjahan

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya sebagai hujjah terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.

1. Hadis Maqbul

Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:
ما دل دليل على رجحان ثبوته
Artinya:
"Hadis yang menunjukkan  suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakannya."

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:
1. Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
2. Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yang  juga ditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kemakmulannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yakni hadis ma’mulun bihi dan hadis gairu ma'mulin bihi.

1. Hadis ma’mulun bihi
Hadis ma’mulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan. Yang  termasuk hadis ini ialah:
a.   Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah
c.   Hadis nasih
a.       Hadits rajih

2. Hadis ghairu ma’mulin bihi
Hadis gairu makmulin bihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a. Hadis mutawaqqaf, yaitu hadis mukhtalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b.   Hadis mansuh
c.   Hadis marjuh.

2. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :
مالم يدل دليل على رجحان ثبوته ولاعدم ثبوته بل مستوى الأمران
Artinya:
"Hadis yang tidak memiliki petunjuk/ keterangan yang kuat untuk diterima dan juga tidak memiliki petunjuk/ keterangan yang kuat untuk ditolak, tetapi memikliki indikasi yang sama."
Ada juga yang mendifinisikan hadis mardud adalah:
مالم توجد قيه صفة القبول
Artinya:
"Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbul."
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak). Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.

D. Pembagian Hadits Dari Segi Persambungan Sanad

1. Hadis Muttasil
Hadis muttasil disebut juga Hadis Mausul.

الحديث المتصل هو الذي سمعه كل واحد من رواته ممن فوقه حتى ينتهي الى منتهاه سواء كان مرفوعا أوموقوفا

Artinya:
"Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya(rawi terdwkat sebelumnya) sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu' maupun hadis mauquf."

Kata-kata "hadis yang didengar olehnya" mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Ardl. Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-washiyah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadis Mu 'an 'an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil Marfu' adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
الذي تفوته صلاة العصر كأنما وتر أهله وماله
Artinya: "Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya"

Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:
من أسلف سلفا فلا يشترط إلا قضاء ه
Artinya: "Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya."

Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu’ yakni hadis yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu’ termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata, "Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan "Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya ". Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu' adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi'in.

2. Hadis Munqati'

Kata Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat’u (pemotongan) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. kata  inqita' merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqita' adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati' yang paling umum adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:
المنقطع كل ما لايتصل سواء كان ينقوي إلى النبي صلى الله عليه وسلم أوإلى غيره

Artinya:
"Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."

Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:
فكل مالم يتصل بحال  * إسناده منقطع الأوصال
Artinya:
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati' (terputus) persambungannya."

Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata, "Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya menyatakan bahwa, hadis munqati' merupakan suatu judul yang umum yang mencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis Mutaakhirin mendifinisikan istilah tersebut sebagai berikut:
المنقطع هو الحديث الذي سقط من رواته راو واحد قبل الصحابي في موضع واحد أومواضع متعددة بحيث لايزيد الساقط في كل منها على واحد وألا يكون الساكت في أول السند

Artinya:
"Hadis Munqati’ adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."

Definisi ini menjadikan hadis munqati' berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ungkapan "salah seorang rawinya", maka defnisi ini tidak mencakup hadis mu'dhal;. Dengan ungkapan kata-kata, "sebelum sahabat", maka definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan kata-kata "tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadis muallaq.


[1] Drs. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits,(Bandung: Angkasa, 1991) h. 135
[2] Sebagian ulama Syafi’i menetapkan minimal 5 orang dengan mengacu kepada jumlah nabi ulul azmi, yakni Nabu Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw.      
[3] Dr. Mahmud Thahhan, Ushul al-Takhrij wa  Dirasat al- Asanid, ( Bairut : Dar al-Qur’an al-Karin, 1985) , h. 20
[4] Drs. Syuhudi Isma’il,  op- cit, h. 138-140
[5] Ibid, h. 141. Bandingkan dengan  Prof. Hasbi Ash-Shiddiqi,  Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits ( Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 66
[6] Drs. Fathurrahman,  Ikhtisar Mushtalah Hadits, (Bandung: al-Ma’arif, 1985), h. 67
[7] Prof. Marsekan Fatawi, Problematika Studi Jadis Sebagai Sumber Syari’at Islam,(Pidato Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Ampel, 1987) h. 8
[8] Drs. Syuhudi Ismail, op-cit, h. 151. Bandingkan dengan  Drs. Fathurrahman, op-cit, h. 74
[9] Fathurrahman, ibid, h. 77-79
[10] Drs. Syuhudi Ismail.  Op-cit, h. 158-159
[11]Muhammad Ajjaj al-Khatib,  Ushul al-hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu, ( Bairut : Dar al-Fikr, 1975 ) , h. 304; Bandingkan dengan Mahmud Thahhan,  op-cit.  H. 34
[12] Muhammad Ajjaj al-Khatib, ibid,  h. 306
[13] Prof. Hasbi As Siddiqi, op- cit. h. 165
[14] Drs. M. Syuhudi Ismail , op- cit.  h. 182
[15] Ibid,  h. 187
[16] Drs. Fathurrahman,  op-cit,  h. 140
[17] Yang dimaksud keutamaan amal  dalam hal ini bukanlah dalam arti menetapkan hukum sunnat., tetapi dimaksudkan untuk menjelaskan  faidah atau kegunaan dari suatu amal. Selanjutnya lihat pada M. Syuhudi Ismail, op- cit.  h. 187
[18]Lebih terinci bisa lihat pada H. Abd.Majid Khon, Dr. Ulumul Hadits (Jakarta : AMZAH, 2008 ) hal. 168-198