Kamis, 11 Oktober 2012

Pengantar Studi Al-Qur'an-Al-Hadis


PENGANTAR STUDI AL-QUR’AN
Kajian Praktis Untuk Penalaran

Oleh M. Nawawi


            Al-qur’an adalah petunjuk langsung Allah untuk manusia yang disampaikan kepada Rasululluah Muhammad melalui malaikat Jibril. Menurut Sayid Husen Nasr,  al-Qur’an mempunyai tiga petunjuk bagi manusia:

            Pertama, sebagai doktrin yang memberi petunjuk dan pngetahuan tentang  struktur kenyataan dan posisi manusia di dalamnya.  Doktrin ini mengandung  a) . petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syari’at. Yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari.  b). metafisikan tentang Tuhan , kosmologi tentang alam semesta dan kehidupan akhirat. c). penjelasan tentang kehidupan manusia , tentang sejarah dan eksistensi manusia. d).  pelajaran yang diperlukan manusia unt5uk mengetahui siapa dirinya, dimana ia berada dan kemana akan pergi.

            Kedua, berisi petunjuk yang menyerupai sejarah ringkas perjalanan manusia; mulai dari rakyat biasa, raja-raja, orang suci dan orang-orang yang membangkang. Walaupun berisi sejarah tetapi ia merupakan petunjuk moral yang ditujukan kepada jiwa manusia.

            Ketiga, al-Qur’an berisi sesuatu yang sulit dijelaskan  dalam bahasa modern, sesuatu yang dalam istilah agama disebut mukjizat. Oleh karena diturunkan oleh Allah, al-Qur’an  mengandung kekuatan , yang menyerupai ‘ azimat’. Ayat-ayatnya seakan memiliki kekuatan magis yang diperlukan  sebagai obat dan penghubur bagi manusia.

            Salah satu petujuk al-qur’an adalah sebagai dalil “fiqih”.  Bersama dengan hadist Rasul ia menjadi  “dalil munsyi’ “ (panduan yang mencipta). Di sebut demikian, karena keberadaannya tidak memerlukan dalil lain kecuali dirinya sendiri. Sedangkan dalil selaqin al-Qur’an dan Hadits disebut “ dalil mudlhir” ( dalil yang menyingkap).

Pentingnya penafsiran


            Telah disepakati  oleh jumhur ulama bahwa  al-Qur’an merupakan “ kalam Allah” yang azali dan abadi. Demikian pula telah disepakati bahwa “Hakikat al-Quir’an  “ bukanlah teks yang tertulis  di antara  dua sampul Mushaf . Al-Qur’an adalah Kalam Alah yang tanpa huruf dan  tanpa suara.

Kemudian apa bedanya anntara “kalam Allah “ dengan  teks kalam Allah.  Pertanyaan ini muncul karena yang dihadapi  dalam tafsir adalah  “teks tentang al-Qur’an. Itulah sebabanya maka  Teks al-Qur’an  disebut sebagai dalil/ tanda/ayat al-Qur’an.
Dalam sejarah teologi islam telah terjadi perdebatan mengenai  masalah ini antara penganut Muktazilah dan Asy’ariyah . Bagi Muktazilah , kalam Allah merupakan  “makhluq” ciptaan Allah. Sedang menurut Asy’ariyah, kalam Allah  itu abadi sebagai bagian dari sifatNya.  Dari perdebatan ini maka disimpulkan bahwa  teks al-Qur’an memiliki dua dimensi: Historis dan Transhistoris. Ia menjembatani jarak antara  Tuhan yang azali dan maha Mutlaq  dengan manusia yang relatif. Tuhan hadir menyapa manusia dibalik hijab kalamNya  kemudia kalam itu menyejarah melalui  teks tentang kalamNya.
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang Maha Mutlaq , kemudian direkamkan kepada Manusia (Muhammad Saw). Lalu menjilma kedalam lisan arab yang bersifat budaya. Maka untuk menjamin kebenaran kalam Allah itu, Nabi Muhammad haruslah Ma’shum dan ummi.

Para Teolog sepakat bahwa  bahasa wahyu pada mulanya bukanlah bahasa tulis, tetapi karena harus dikomunikasikan kepada manusia , maka harus dituangkan ke dalam simbul-huruf yang bisa difahami oleh manusia, berupa teks yang bersifat historis. Sebuah teks itu pada dasarnya adalah pelembagaan simbolik dari sebuah wacana, dan sekaligus menjembatani sebuah jarak. Apabila hal ini dikaitkan dengan al-Qur’an , maka teks al-Qur’an akan menjadi jenbatan  antara Nabi dan para sahabatnya  serta generasi muslim dibelakang dengan corak budaya  dan latar belakangnya yang beragam. Oleh karena itu penafsiran terhadaop al-qur’an mutlaq diperlukan , sebab jika peristiwa wacana itu dilembagakan kedalam teks, maka banyak aspek fondamentalnya yang hilang.

Al-Qur’an adalah kalam Allah , Sedang teks al-Qur’an  yang berbahasa Arab, yang dijadikan wahananya, pada tataran tertentu adalah  termasuk kategori budaya . Maka konsekuensinya maksud al-Qur’an secara  lengkap belum tentu dapat terekam secara jelas kedalam teks. Untuk itu diperlukan penafsiran.

Lebih dari itu , watak teks al-Qur’an banyak yang bersifat garis besar (mujmal), ambigu (musytarak), majaz, kinayah dan sebagainya. Hal ini mendorong dilakukannya penafsiran supaya lebih bisa difahami sesuai dengan tujuannya. Penafsir yang paling otoritatif adalah Rasulullah Muhammad saw. Oleh karena itu hadits Nabi dan sunnahnya  (termasuk didalamnya adalah asbab nuzul) memiliki peran sangat penting bagi penefsiran al-Qur’an. Sunnguh-pun demikian, berhubung al-Qur’an itu bersifat universal dan untuk sepanjang zaman serta tempat, dan untuk semua bangsa, ( dan pada saat yang sama zaman itu bersifat dinamis dan tranformatif, yang mengalami perubahan), maka penggunaan hadits dan sunnah sebagai penafsir haruslah dipahami sesuai dengan konteksnya.

Antara Kandungan Ma’na yang Qath’I dan Dhanni.

            Term qoth’I dan dhanni sebenarnya  merupakan wacana ushul fiqih. Istilah yang mirip  sebagai wacana tafsir biasanya menggunakan  term muhkam dan mutasyabih. Akan tetapi berhubung istilah qath’I dan dhanni  ini merupakan bagian dari  media untuk memahami al-Qur’an, maka tidak ada salahnya untuk dimasukkan dalam bagian pembahasan al-qur’an.
            Istilah qath’I dan dhanni ini masing-masing memiliki dua bagian; yaitu dari segi kebenaran sumber (tsubut/wurud) dan dari segi kandungan makna (dilalah). Dari segi kebnaran sumber , telah disepakati bahwa al-qur’an adalah qath’I  al-tsubut. karena diriwayatkan secara muitawatir sejak genarasi awal hinggi kini, dan tidak ada perdebatan sama sekali. Oleh katrena itu tidak perlu dibicarakan lebih rinci.
            Yang menjadi persoalan adalah dari sisi kandungan maknanya. Meskipun  kebenaran sumber  al-Qur’an disepakati sebagai qath’I (pasti), namun dari sisi kandungan maknanya , lebih banyak yang  bersifat dhanni (relatif). Hal ini disebabkan antara lain oleh karakter al-Qur’an yang bersifat unifersal dan berlaku untuk sepanjang zaman dan ruang. Serta berlaku uintuk seluruh suku bangsa disetiap generasi.
            Dalam kaitan ini Muhammad Arkoun, seorang pemikir kontemporer dari al-Jazair, menyatakan : Kitab suci itu (al-Qur’an) mengandung kemungkinan makna yang tak terbatas. Ia menghadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan pada tingkat dasariyah eksistensi yang absolut. Ia dengan demikian  selalu terbuka , tak pernah tertutup hanya pada satu penafsiran makna.

            Senada dengan pemikiran ini , Abdullah Darraz, seorang ulama bersar di al-Azhar menyatakan: Apabila anda membaca al-Qur’an, makna akan jelas dihadapan anda, tetapi apabila anda membacanya sekali lagi, maka anda akan menemukan makna-makna lain yang berbeda dengan makna terdahulu, ….. Semuanya benar . Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan  cahaya yang berbeda. Dan tidak mustahil jika anda mempetrsilahkan orang lain memandangnya , maka dia akan melihat lebih banyak lagi dari apa yang anda lihat.

            Dari penjelasan ini , kita dapat memaklumi pendapat yang menyatakan bahwa setiap Nash atau redaksi mengandung dua dalalah (kandungan makna). Bagi pengucapnya, redaksi itu hanya  mengandung satu arti saja . Hal ini disebut sebagai dilalah haqiqiyah. Sedang bagi para pendengar atau penbaca, maka dalalah (kandungan makna) suatu redaksi dalalahnya bersifat relatif, sebab mereka tidak bisa memastikan maksud pembicara, dan karena  pemahaman mererka selalu dipengaruhi oleh banyak faktor.. Kandungan makna yang kedua ini disebut sebagai  dilalah nisbiyah.

            Menurut sebagian ulama,, misalnya Abdul Wahab Khallaf dan kawan-kawannya, menyatakan bahwa ayat ( atau pernyataan lainnya ) yang Qath’I al-Dilalah  adalah ayat (atau nash lain ) yang menunjuk kepada makna tertentu dan tidak mengandung  kemungkinan ta’wil serta tidak  memberi peluang untuk dipahami selain makna  tersebut. Salah satu contoh adalah pernyataan al-Qur’an dalah surat al-Nur ayat 2
الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة
ungkapan seratus kali jilid dalam ayat di atas tidak bisa dipahami lain kecuali menunjuk kepada jumlah tertentu yaitu seratus.

            Sementara al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menyatakan bahwa jarang sekali ada suatu yang pasti dalam dalam dalil-dalil syara’( jika berdiri sendiri-sendiri ). Dalil syara’ yang  memiliki kepastian makna (qath’I al-dilalah) muncul dari sekumpulan dalil dzanni yang kesemuanya mengandung kemungkinan makna yang sama. Hal ini akan memberikan kekuatan sehingga dalil tersebut memiliki kepastian, semacam mutawatir maknawi.
            Salah satu contoh  adalah pernyataan al-Qur’a, “ أقيموا الصلاة  “ misalnya, maka nash ini tidak pasti menunjuk kepada wajibnya shalat, walaupun redaksinya berbentuk perintah, sebab banyak ayat yang menggunakan kalimat perintah tetapi dinilai bukan sebagai perintah wajib. Kepastian  makna tentang wajibnya shalat tersebut datang dari pemahaman terhadap nash-nash lain  (yang walaupun memiliki konteks yang berbeda) yang disepakati meiliki kemungkinan makna yang sama. Misalnya

a.       perintah shalat kepada setiap mukallaf  dalam kaadaan apa saja, baik sakit, sehat, dalam kaadaan damai atau perang

b.      adanya dalil yang memuji kepada orang-orang yang menjalankan shalat
c.       adanya dalil yang mengecam dan mengancam mereka yang lalai  atau meninggalkan shalat
d.      pengalaman yang diketahu secara turun-temurun sejak zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan seterusnya, yang tidak pernah meninggalkan shalat.

Kumpulan nash sebagaimana di atas itulah yang memberikan makna qath’I . Biasanya para ulama menunjuk kepada ijma’. Karena jika mereka mengambil nash secara parsial (sendiri-sendiri dan terpisah antara nash yang satu dengan yang lain) akan timbul peluang untuk memunculkan makna lain yang berbeda.
Satu catatan bahwa suatu nash itu bisa mengandung makna yang pasti (qath’I) dan makna relatif (dzanni) dalam waktu yang sama . Sal;ah satu contoh adalah ungkapan ayat 6 al-Maidah

 وامسحوا برءوسكم وأرجلكم إلى الكعبين

para ulama sepakat bahwa mengusap kepala ketika berwudlu itu wajib, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menetapkan batas –batas yang dibasuh.
Dari penjelasan ini bisa dipahami mengapa terajadi perbedaan dalam penafsiran dan dalam menetapkan keputusan hukum.

Pembagian Ayat Makiyah dan Madaniyah


            Ayat –ayat al-qur’an diturunkan secara berangsur-angser aelama kurun waktu 23 tahun . Ada yang turun ketikan Nabi masih berada di Makkah, dan ada yang turun kertika Nabi telah berada di kota Madinah. Perbedaan waktu turun ini menyebabkan adanya klasifikasi  ayat menjadi ayat makkiyah  dan ayat madaniyah.

            Ayat yang turun sebelum Nabi berhijrah ke kota Madinah disebut sebagai ayat Makkiyah. Sedangkan ayat yang turun sesudah Hijrah ke Madinah dinamai ayat madaniyah,  walaupun ayat bersangkutan tidak turun di Madinah; misalnya ayat yang turrun di Makkah ketiha peristiwa Fathu Makkah dan ketika hajji wada’.

            Ayat makkiyah biasanya  membicarakan masalah keimanan dan aqidah. Sedangkan ayat madaniyah lebih banyak membicarakan masalah hukum (fiqih). Permbagian seperti ini menyebabkan sebagian ulama’ tidak mau menggunakan ayat makkiyah sebagai dalil ketentuan hukum (fiqih), padahal dalam kelompok ayat makkiyah terdapat ayat yang berbicara mengenai hukum. Salah satu contohnya adalah ayat 141 al- An-am. Surat ini menurut riwayat dari Ibnu Abbas  merupakan kelompok Makkiyah  yang turun sekaligus.

وهو الذي أنشأ جنات معروشات وغير معروشات والنخل والزرع مختلفا أكله والزيتون والرمان متشابها وغير متشابه كلوا من ثمره إذا أثمر وءاتوا حقه يوم حصاده ولا تسرفوا إنه لا يحب المسرفين(141)

Ayat di atas  oleh sebagian ulama’ dijadikan sebagai dalil utama untuk menjelaskan bahwa kewajiban zakat mencakup semua jenis tanaman. Namun sebagian ulama yang lain mengabaikan ayat ini sebagai dalil zakat, dengan alasan karena ia turun  sebelum hijrah, padahal kewajiban zakat baru ditentukan ketika Nabi setelah hijrah ke Madinah.
Dari keterangan ini dipahami mengapa diantara para ulama berbeda pendapat dalam mengambil keputusan. Hal ini tak lain karena dalam penafsiran ada prolem akibat pembagian ayat makkiyah dan madaniyah.
Sebab Turun (Asbab al-Nuzul)

            Ayat-ayat al-qur’an yang turun secara bertahab tersebut ada yang diturunkan tanpa sebab, misalnya seperti ayat yang memerintahkan shalah, pembayaran mahar perkaninan dan sebagainya. Tetapi banyak juga ayat-ayat yang diwahyukan guna menjawab persoalan kongkrit yang dihadapi masyarakat. Misalnya dalam perang uhud, seorang sahabat Syahid (bernama Sa’ad ibn Rabi’) meninggalkan seorang istri dan dua anak perempuan serta sejumlah harta.  Beberapa waktu setelah peristiwa ini,  saudara laki-laki Sa’ad datang  mengambil kekayaan Saad. Sesuai dengan adat Jahiliyah , janda Sa’ad dan anak-anaknya tidak memperoleh bagian apapun.. Oleh karena itu Janda Sa’;ad melaporkan peroistiwa itu kepada Nabi. Rasulullah kemudian bersabda : Tungguilah Allah pasti akan menurunkan wahyu untuk menyelesaikan masalah anda. Maka turunlah ayat 11-12 surat al-Nisa’ yang menjeladskan hak waris anak, orang tuan, suami dan istri. Peristiwa yang berhubungan dengan pewahyuan suatu ayat ini populer  dengan sebutan asbab al-nuzul.

Dari penjelas di atas terkesan bahwa ada ayat yang memiliki sebab nuzul dan sebagian ayat ada yang tidak memiliki sebab nuzul. Pendapat dan kesan seperti ini oleh sebnagian ulama, terutama kalangan kontemporer. tidak disepakati. Kelompok yang terahir ini berpendapat bahwa  langsung atau tidak , ayat al-qur’an itu pasti  diturunkan untuk menghadapi kehidupan, jalam pikiran, tradisi masyarakat waktu itu, dan realitas sosial yang ada. Pendapat yang kedua ini agaknya ingin meletakkan al-qur’an dalam setting yang lebih luas, yaitru adat istiadat dan kehidupan sosial masyarakat Arab zaman Nabi. Jadi al-qur’an turun tidak dalam kevakuman, tetapi  dal;am konteks yang riil. Mengikuti jalan pikiran kedua ini , maka dengan memperhatikan latar belakang sosial budaya masyarakat Arab waktu itu, akan diperoleh pemahaman tentang illat atau hikmah yang tersirat dari suatu ayat. Dengan demikian akan membatu para ulama’ dalam menerapkan ajarannya secara kontektual. Bahkan ada kemungkinan dilakukannya perubahan ketentuan formal , jika sekiranya aturan tersebut sudak tidak sesuai lagi dengan illat dan hikmah yang ingi dicapai oleh ayat tersebut.

Nasih Mansukh serta Ayat yang Menerangkan dan Ayat yang di Terangkan

            Diturunkannya al-qur’an secara bertahab menyebabkan adanya perbedaan waktu turun. Hal ini menuntut perlunya pengetahuan tentang mana ayat yang turun pertama dan mana ayat yang turun kemudian (belakangan). Mana ayat yang diterangkan dan mana ayat yang menerangkan.

            Menurut sebagain ulama pengetahuan tentang tertib turunnya ayat ini penting karena diperlukan sebagai dasar menentukan mana ayat yang nasikh dan mana ayat yang mansukh. Tetapi menurut sebagian ulama’ lainnya, pengetahuan tentang tertib turunnya ayat ini diperlukan bukan untuk kepentingan pembatalan, nemun untuk kepentingan mana ayat yang diterangkan dan mana ayat yang menerangkan.

            Term nasikh-mansukh ini diperdebatkan oleh kalangan ulama. Sebagain menyatakan bahwa dalam al-qur’an  terdapat ayat yang dinaskh hukumnya. Pendapat ini mengambil dalil ayat beriku :

ما ننسخ من ءاية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها ألم تعلم أن الله على كل شيء قدير(106)البقرة

Sementara sebagian ulama yang menolak adanya nasih-mansukh dalam al-Qur’an menyatakan bahwa pembatalan hukum Allah akan menimbulkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu a) ketidaktahuan sehingga Dia perlu mengganti hukuim yang lain; b)kesia-siaan.  Hal ini mestahil bagi Allah, sebab dalam al-qur’an tidak ada kebatilan sama sekali . Firman Allah dalam surat Fusshilat
لا يأتيه الباطل من بين يديه ولا من خلفه تنزيل من حكيم حميد(42)
            Secara etimologi, makna nasakha bisa berarti pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan , pembatasan, dan penulisan.  Sedangkan secara terminologi pengertian Naskh adalah sebagai berikut:

            Bagi Ulama’ Mutaqaddimin (yang hidup pada abad I-3 H) mendefinisikan sebagai beriku::
a)      pembatalah hukum yang ditretaplkan terdahulu oleh hukum yang datang kemudian;
b)      pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian;
c)      penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar ;
d)      penetapan syarat terhadap hukum terdahulu oleh penjelasan yang datang kemdian.

Definisi ini kemudian dipersrempit oleh ulama Muta’akhirin  hanya menyangkut pembatalah hukum yang datang terdahulu oleh hukum yang datang kemudian.
Untuk menjembatani antara dua pendapat ektrin antara yang menolak dengan yang menerima nasih mansukh, terdapat pendapat yang moderat. Merreka berpendapat memang terdapat naskh  dalam al-Qur’an, tetapi pengertiannya yang dipahami adalah pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain. Artinya bahwa semua ayat al-qur’an  tetap berlaku, karena tidak ada kontradeksi. Yang ada hanyalah penggantian hukum bagi madsyarakat atau orang tertentu karena perbedaan kondisi. Maka ayat hukum yang tidak berlaku bagi masyarakat tertentu, akan tetap berlaku bagi masyarakat lain yang kondisinya sama dengan masyarakat semula. Jadi semua ayat tetap berlaku sesuai dengan koteks masing-masing.

Salah satu ayat yang bisa dijadikan contoh adalah tentang pemberlakuan larangan hamer.
يسألونك عن الخمر والميسر قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس وإثمهما أكبر من نفعهما….. البقرة 219
ياأيها الذين ءامنوا لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون….النساء 43
ياأيها الذين ءامنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون(90) المائدة
            Ayat –ayat ini menurut pendapat yang tetahir tadi semuanya berlaku pada konteksnya masing-masing. Namun menurut pendapat yang setuju adanya saakh, maka ayat yang berlaku hukumnya hanyalah ayat yang tetahir.

Al-Qur’an Sebagai Dalil Fiqih

            Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa salah satu petunjuk al-qur’an al-qur’an adalah sebagai dalil (panduan) dibidang fiqih. Bersama dengan sunnah Rasul, al-qur’an  disebut sebagai dalil munsyi’(dalil yang mencipta). Disebut demikian kartena keberadaannya sebagai dalil tidak tergantung pada dalil yang lain, selain dirinya sendiri. Berbeda dengan dalil lain , seperti qiyas istihsan dll, dalil –dalil yang kedua ini keberadaannya tergantung kepada dalil al-qur’an damn sunnah Rasul. Oleh karena itu disebut sebagai dalil mudhhir (dalil turunan / dalil yang menyingkap)
           
            Para ulama sepakat bahwa tidak semua ayat al-qur’an bisa digunakan sebagai dalil fiqih. Jadi ada ayat hukum dan ayat non hukum. Dalam kaitannya dengan pembahasan ini perlu diingat bahwa walaupun pembagian ayat ahkam dan bukan ayat hukum ditemukan  (diisyaratkan) dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 7 :
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه ءايات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون في العلم يقولون ءامنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولو الألباب(7)

tetapi pembagiannya secara jelas tidak ditemukan dalam al-Qur/an ataupun sunnah Rasul  Oleh karena itu pembagian secara rinci mengenai ayat ahkam  merupakan upaya ijtihad para ulama’. Hal ni terbukti dengan adanya ketidak sepakatan diantara mereka . Imam al-Ghazali menyatakan bahwa ayat ahkam hanya sekitar 500 ayat. Sedangkan bagi Abdul Wahab Khallah jumlah ayat hukum hanya sekitar 368 ayat.

            Dalam surat al-Baqarah misalnya para ulama berbeda dalam menentukan jumlah ayat hukum. Al-Jasshas (pengikut madzhab Hanafi w. th 370 H) menyatakan bahwa jumlah ayat hukum dalam surat al-Baqarah terdapat 140 ayat.  Sementara Ibnu al-Arabi (pengikut madzhab Maliki w. th. 543 H) menyatakan bahwa jumlah ayat hukum dalam surat al-baqarah terdapat 86 ayat.Dibawah ini ada dua ayat yang secara konkrit bisa dijadikan bukti perbedaan penentuan.

ربنا واجعلنا مسلمين لك ومن ذريتنا أمة مسلمة لك وأرنا مناسكنا وتب علينا إنك أنت التواب الرحيم(128) البقرة
أم كنتم شهداء إذ حضر يعقوب الموت إذ قال لبنيه ما تعبدون من بعدي قالوا نعبد إلهك وإله ءابائك إبراهيم وإسماعيل وإسحاق إلها واحدا ونحن له مسلمون(133)البقرة

Kedua ayat pada surat al-baqarah di atas menurut al-Jasshas sebagai ayat hukum, sedang menurut Ibnu al-Arabi , bukan sebagai ayat hukum. Hal ini menjadi bukti bahwa penentuan ayat hukum akan sangat bergantung kepada kemampuan dan kapasitas para mujtahid. Jadi pembagian ayat hukum dengan ayat bukan hukum merupakan produk dari penafsiran para mujtahid. Yang menjadi pertanyaan adalah apa dasar atau keriterian yang dijadikan ukuran oleh para ulama’ untuk menentukan sutu ayat sebagai kelompok ayat hukum. Mengapa dalam hal ini terjadi perbedaan.



PENGANTAR STUDI HADITS

Oleh; M. Nawawi

           
            Dari berbagai definisi tentang hadits Nabi saw, dapat disimpulkan bahwa hadits Nabi / hadits Rasul adalah penuturan (periwayatan verbal ) sahabat tentang Rasulullah, baik mengenai perkataan, perbuatan, atau taqrirnya, bahkan juga tentang sifat-sifatnya.

Jika kata-kata yang digunakan para sahabat itu merupakan redaksi yang digunakan Nabi, maka dinamakan penuturan dengan makna (riwayat bi al-lafdzi). Apabila yang dituturkan itu  merupakan kata-kata (misalnya pidato) Nabi, maka boleh jadi penuturan itu persis kata-kata Nabi, Akan tetapi bisa juga penuturan sahabat itu menggunakan redaksi atau kalimat sahabat sendiri. Penuturan dengan cara yang terahir ini dinamakan riwayat bi al-makna (meskipun yang dituturkan sahabat itu bersumber dari qawlun Nabi).

            Selanjutnya jika penuturan sahabat tentang perbuatan, taqrir, kebiasaan dan sifat-sifat Nabi, maka tentu periwayatan ini  merupakana riwayat bi al-makna., karena para sahabat menceritakan hasil penyaksian /pandangan mata tentang sikap dan perbuatan Rasulullah.

            Secara umum istilah hadits nabi dengan istilah sunnah Nabi itu identik, tetapi untuk kepentingan fiqih, sebagian ulama ada yang membedakan. Sebagian ulama membedakan antara sunnah Rasul dan hadits Rasul. Sunnah adalah perbuatan/Sikap Nabi yang memiliki nilai hukum, atau dalam ungkapan lain sunnah adalah prbuatan/sikap Nabi yang dapat digunakan sebagai dalil hukum (termasuk yang tidak dituturkan secara verbal). Sedangkan hadits merupakan keseluruhan periwayatan  (verbal) tetang Nabi (Rasul), baik yang bernilai hukum maupun tidak.
Perbedaan ini menurut mereka memiliki arti sangat penting , karena sunnah Nabi (terutama yang bersumber dari perbuatan dan sikap Nabi) , disamping ada yang diriwayatakan dengan kata-kata, ada juga yang diriwatkan dengan perbuatan sahabat. Maksudnya sahabat Nabi  di Madinah mengamalkan langsung perbuatan/sikap Rasul, kemudian dilanjutkan para tabi’in, tanpa ada penjelasan verbal bahwa amal itu sumbernya dari Nabi.

            Periwayatan dengan perbuatan (tanpa ada penjelsan kata-kata) pada masa sahabat dan tabi’in merupakan sesuatu yang sangat mungkin, sebab jarak antara Nabi dengan generasi sahabat dan tabi’in masih sangat dekat. Sebagai sahabat, mereka sangat memahami pribadi Rasul, mereka telah melakukan  penyerapan  nilai-nilai dan kebijakan yang telah dilakukan Nabi. Oleh karena itu maka prilaku sahabat dapat dinyatakan sebagai cerminan sunnah Nabi. Akan tetapi lama kelamaan sesudah berselang dua generasi , periwayatan melalui perbuatan (tanpa riwayat verbal) ini pertanggungjawabannya sulit dilakukan, karena dihawatirkan terjadia pergeseran orisinalitas / keaslian sunnah . Oleh karena itu maka sejak generasi ketiga (tabi’-tabi’in) terdapat ulama’ yang menetapkan bahwa setiap amal/tradisi yang dinyatakan sebagai sunnah Nabi harus dudukung dengan periwayatan verbal (hadits). Praktik / amaliyah yang tidak didukung penuturan verbal (hadits) , tidak dapat diterima sebagai sunnah Rasul. (dan maksimal dianggap sebagai hasil ijtihat para sahabat atau tabi’in).  Sejak saat ini  sunnah amaliyah  selalu dikaitkan secara ketat dengan hadits, sehingga ahirnya sunnah nabi menjadi identik dengan hadits Nabi.

Pembagian Hadits Qawli dan Fi’li

            Sebagaimana diterangkan di atas bahwa hadits Nabi itu ada yang bersifat qawli dan fi’li. Hadits qawli adalah penuturan tentang semua ucapan, seperti perintah, larangan atau pidato Rasul dalam berbagai kesempatan, yang berhubungan dengan tasyri’ (legislasi). Misalnya :
حدثنا إسحاق بن إبراهيم الحنظلي قال أخبرنا عبد الرزاق قال أخبرنا معمر عن همام بن منبه أنه سمع أبا هريرة يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تقبل صلاة من أحدث حتى يتوضأ قال رجل من حضرموت ما الحدث يا أبا هريرة قال فساء أو ضراط – اخرجه البخاري

Surat-surat beliau , baik surat perjanjian (misalnya Piagam Madinah atau Hudaibiyah); atau surat-surat yang beliau tulis untuk para gubernurnya di daerah dan surat-surat lainnya,  juga dianggap sebagai hadits qawli.

            Sedang hadits fi’li adalah penuturan para sahabat tentang semua perbuatan Rasulullah yang ada hubungannya dengan tasyri’, misalnya cara beliau shalat, cara berwudhu’ dan sebagainya. Termasuk kategori hadits fi’li adalah isyarat beliau yang tidak diikuti kata-kata. Demikian pula sikap keengganan beliau melakukan sesuatu.. Salah satu contohnya :

حدثنا محمد بن يوسف قال حدثنا سفيان عن زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن ابن عباس قال توضأ النبي صلى الله عليه وسلم مرة مرة- اخرجه البخاري
حدثنا حسين بن عيسى قال حدثنا يونس بن محمد قال حدثنا فليح بن سليمان عن عبد الله بن أبي بكر بن عمرو بن حزم عن عباد بن تميم عن عبد الله بن زيد أن النبي صلى الله عليه وسلم توضأ مرتين مرتين- الخرجه البخاري

            Para ulama’ sepakat bahwa hadits qawli meiliki nilai penuh sebagai dalil, artinya  diamalkan sesuai dengan isi kandungan yang dimaksud.
            Sedangkan mengenai hadits fi’li , oleh para ulama dibedakan menjadi du kelompok. Pertama, hadits fi’li yang merupakan penjelasan ayat al-qur’an atau hadits qawli.. Kedua , hadits fi’li yang bukan merupakan penjelasan terhadap ayat al-qur’an  atau hadits qawli., seperti cara beliau berjalan (agak membungkuk dan cepat), model rambut beliau yang agak panjang, jenis baju dan tutup kepala yang dikenakan dll..

            Terhadap hadits fi’li kelompok pertama , pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum perbuatan itu sesuai dengan isi kandungan al-qur’an atau hadits qawlinya. Tetapi dalam praktik ternyata tetap terjadi perselisihan pendapat di kalangan sahabat dan ulama, karena perbedaan penilaian atau karena perbuatan itu dilakukan secara berulang-ulang dan ada perbedaan. Misalnya cara Nabi Shalat adalah merupakan penjelasan dari hadits qawli :
صلوا كما رأيتموني أصل

Rasulullah shalat setiap hari berkali-kali melaksanakan shalat, baik fardlu maupun sunnat, selama bertahun-tahun. Kadang-kadang beliau mengangkat tangan (ketika takbir) sejajar dengan daun telinga, tetapi kadang pula mngangkat tangan sejajar dengan dada. Sekali tempo Rasul membaca basmalah dengan memelankan bacaan basmalah, tetapi kadang menjaherkan (mengeraskan) basmalah. Perbedaan ini mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama, praktik mana yang harus diikuti. Ada yang berpendapat bahwa terjadi nasih mansukh, sehingga yang mansukh tidak boleh dikerjakan lagi. Tetapi ada yang berpendapat bahwa semua contoh Nabi (dengan segala perbedaan yang ada) boleh dikerjakan mana suka.

            Dalam surat al-ma’idah : 6 telah dijelaskan mana saja anggota badan yang mesti dibasuh dalam berwudlu’. Kemudian Rasulullah menjelaskan dengan tuntunan kongkritnya melalui contoh perbuatan. Berhubung perbuatan wudlu yang dilakukan Rasul ini terjadi berulang-ulang selama bertahun-tahun, dan ada perbedaan , maka dikalangan para ulama’ terjadi perbedaan pendapat. Dalam surat al-maidah : 6 telah disebut bahwa orang yang berwudlu harus mengusap kepalanya, Dalam hal ini Rasulullah kadang mengusap seluruh kepala, tetapi sering  pula hanya mengusap umbun-umbunnya. Nah mana contoh Rasul yang lebih afdhal dijadikan penjelas al-qur’an.

            Sedangkan untuk hadits fi’li kelompok kedua, di kalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat.  Sebagian ulama ada yang menganggapnya  bernilai sunnat, ada yang menganggapnya bernilai mubah. Bahkan ada yang menganggapnya  bernilai wajib, sehingga mesti diikuti. Misalnya makan sepiring secara rame-rame, ada yang menganggapnya sunnat dan ada pula yang  menilai mubah.

Otoritas Hadits Nabi


Islam sebagai ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad saw adalah bersumber kepada wahyu Allah, yang terbagi atas wahyu yang terbaca (matluw) dan wahyu yang tak terbaca (ghairu matluw). Wahyu yang terbaca dituangkan dalam al-Qur’an al-Karim yang bersifat universal. Oleh sebab itu maka pernyataan dan redaksinya banyak yang bersifat garis besar, sebagai ketentuan dasar yang pokok dan berupa prinsip-perinsip. Itulah sebabnya maka ajaran ini berlaku sepanjang masa sesuai dengan situasi dan kondisi zaman yang dihadapi.

Sebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, bahasa dan redaksi yang dipilihnya banyak yang bersifat mujmal. musykil, khafi, am, mutlaq, atau mitasyabih, yang masih memerlukan pejelasan , rincian dan contoh pelaksanaan. Penjelasan lebih rinci terhadap ajaran pokok yang tertuang dalam al-Qur’an ini yang paling otoritatif adalah oleh Syari (Allah) sendiri melalui wahyu  juga, baik yang terbaca atau tidak terbaca (ghoiru matluw) , yang disampaikan oleh utusan Syari’ (Rasulullah).

Dalam Surat al-Ahzab ayat 21 ditegaskan bahwa kaum muslimin diperintah menjadikan Rasul sebagai teladan. Al-Qur’an juga meminta Rasul agar memutuskan persoalan kaum muslimun berdasar wahyu. Dengan demikian maka jelas bahwa otoritas legislasi Islam adalah al-Qur’an. Akan tetapi meski demikian, al-Qur’an juga menyatakan bahwa Rasul (Nabi) bertugas sebagai penafsir al-Qur’an, mengumumkan wahyu, memberi pendidikan moral, mengajarkan al-Qur’an dan hukmah (kearifan). Bahkan lebih dari itu, al-Quran menegaskan bahwa kepatuhan kepada Rasul merupakan suatu kewajiban dan bukti keimanan. Atas dasar penjelasan al-Qur’an ini maka dapat disimpulkan bahwa Rasul dengan petunjuk-petunjuknya, bukan hanya penting bagi kaum muslimin, tetapi juga sangat berarti bagi al-Qur”an sendiri. Tanpa petunjuk Rasul, al-Quran hampir tidak dapat berbunyi dan tidak dapat dipraktikkan secara efektif. Itulah sebabnya maka ketaatan kepada Rasul memiliki nilai sebanding dengan ketaatan kepada Allah. Oleh karena itulah ummat islam sejak periode awwal, secara praktis telah sepakat menerima dan mematuhi ajaran dan petunjuk Rasul.

Dari kenyataan  sebagaimana diterangkan di atas,  bahwa fungsi petunjuk Rasul ( yang secara verbal dituturkan melalui hadits Nabi) menentukan dan menjelaskan al-Qur’an, maka berarti al-Qur’an lebih bergantung kepada petunjuk Rasul dari pada sebaliknya. Maka atas dasar penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hadits Nabi ( sebagai laporan verbal tentang penjelasan , petunjuk dan perilaku Nabi)  secara konseptual dan garis besar merupakan hujjah yang memiliki otoritas untuk digunakan sebagai dalil dan pedoman hidup.

Pertanyaan yang mungkin muncul kemudian ialah apakah semua hadits sebagai penuturan sahabat tentang Nabi itu memiliki otoritas yang mengikat kaum muslimin, padahal hadits Nabi itu ada yang berkaitan dengan gambaran fisik Nabi dan pada saat yang sama Nabi itu memiliki kapasitas yang beragam,; misalnya sebagai suami, ayah , panglima perang, bahkan sebagai seorang manusia (basyar). Untuk menjawab problimatika ini sebagian ulama mengklasifikasikan hadits menjadu dua bagian sebagai berikut :
1.      Hadits Tasyri yaitu hadits-hadits yang bersifat sebagai penetapan ajaran agama yang wajib ditaati
2.      Hadits irsyadi, yaitu hadits –hadits yang bersifat  bukan sebagai penetapan ajaran agama, boleh ditiru sebagai anjuran.

Dengan kata lain hadits tasyri’ adalah hadits-hadits yang bersumber dari kerasulan Muhammad saw. sedang hadits irsyadi adalah hadits yang bersumber dari basyariyah Muhammad. Sebagai gambaran konkrit adalah pendapat Rasul tentang tawanan Badar, mengawinkan bunga kurma, model pakaian dan masalah pengetahuan tehnik duniawi lainnya.


Hubungan al-hadits Dengan al-Qur’an

            Berbicara mengenai hubungan hadits dengan al-qur’an, paling tidak ada dua hal yang mesti diperhatikan; yaitu fungsi  hadits terhadap al-qur’an, dan Hadits sebagai penafsir al-qur’an.

            Fungsi hadits  terhadap al-qur’an terbagi kedalam dua bidang; yaitu bidang fiqih dan di luar fiqih. Untuk bidang fiqih hadits berfungsi :
1.      konfirmatif / ta’kid. Fungsi yang pertama ini sifatnya hanya bersifat penegasan kembali atas pelbagai ketentuan yang telah disinggung al-qur’an.
2.      Tafsil,  semacam  petunjuk pelaksanaan dan tehnisnya. Dalam kaitannya dengan fungsi ini hadits Nabi biasanya hadir sebagai  pentafsil ketentuan yang mujmal, mentakhsis ayat-ayat yang “am (termasuk mengcualikan beberapa ke umuman ayat), mentaqyid (membatasi) ketentuan yang mutlak, dan sebagainya
3.      Tasyri’, semacam ketentuan tambahan. Dalam hal ini hadits bisa menambah hukum-hukum baru yang belum disebut dalam al-qur’an. Salah satu contohnya antara lain mengenai jenis makanan (hewan) yang haram dikonsumsi. Dalam surat al-Baqarah dan surat al-Ma’idah telah secara gamblang dinyatakan jenis makanan yang diharamkan, tetapi  dalam hadits Nabi ada ketentuan tambahan beberapa jenis binatang. Misalnya binatang buas . Perhatikan ayat dan hadits berikut:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ(3) المائدة

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ(173)البقرة

حدثنا عبيد الله بن معاذ العنبري حدثنا أبي حدثنا شعبة عن الحكم عن ميمون بن مهران عن ابن عباس قال نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن كل ذي ناب من السباع وعن كل ذي مخلب من الطير و حدثني حجاج بن الشاعر حدثنا سهل بن حماد حدثنا شعبة بهذا الإسناد مثله- رواه مسلم

            Jumhur ulama sepakat terhadap ketiga fungsi tersebut, namun dalam praktik mereka berbeda pendapat. Hal ini disebabkan oleh hal-hal berikut:
1.      perbedaan dalam menetapkan apakah suatui ayat memang memerlukan penjelasan atau tidak.  Sebagian ulama berpendapat bahwa  suatu ayat sudah cukup jelas, dan karena itu tidak memerlukan penjelasan. Sedang ulama lain menganggap sutu ayat tersebut masih belum jelas . karena itu memerlukan penjelasan, maka harus dipadu dengan hadits. Salah satu contohnya adalah ayat dalam al-Baqarah dan dan al-Maidah di atas. Menurut  madzhab Maliki ayat di atas  cukup jelas dan tidak perlu di jelaskan lagi. Maka semua hewan selain yang disebut dalam ayat di atas hukumnya halal. Ulama Syafi’I menganggap ayat di atas  memang cukup jelas, tetapi masih boleh ditambah. Oleh karena itu keterangan hadits Nabi yang melarang mengkonsumsi binatang buas menjadi ketentuan tambahan yang harus dipatuhi. Bagi Madzhab Maliki, ketentuan hadits tidak bisa mengalahkan al-Qur’an, karena itu maka larangan Nabi maksimal hanyalah Makruh.

2.      Perbedaan dalam menentukan hadits mana yang menjadi penjelas. Maksudnya jika para ulama telah sepakat bahwa suatu ayat memerlukan penjelasan , maka dalam menentukan hadits mana yang dijadikan penjelasan, belum tentu terjadi kesepakatan. Salah satu contohnya adalah tentang mengusap kepala ketika berwudlu. Mereka sepakat bahwa  ayat  ini memerlukan penjelasan, tetapi  ternyata mereka berbeda pendapat. Sebagian menyatakan bahwa bagian kepala yang harus diusap adalah keseluruhan, sedang lainnya hanya menetapkan sebagain kepala saja. Keduanya sama-sama berdasar hadits Nabi.

3.      Perbedaan dalam menilai kualitas suatu hadits (maqbul atai tidaknya), sehingga ada hadits yang oleh sebagian ulama’ dinyatakan memenuhi syarat untuk diamalkan, sedang menurut ulama lainnya dinyatakan belum memenuhi syarat, karena itu, maka hadist tersebut  diperselisihkan pengamalannya. Contohnya antara lain adalah hadits tentang qunut subuh.

Sedangkan mengenai fungsi hadits diluar fiqih para ulama tidak memberikan keterangan yang tegas dan jelas. Di dalam ilmu Kalam dikembangkan pendapat bahwa nash hadits yang bisa dijadikan dalil aqidah adalah yang bersifat qothi al-wurud., karena memiliki kekuatan mengikat. Dengan demikian hadits ahad tidak bisa digunakan sebagai dalil persoalan aqidah. Akan tetapi jika sekiranya digunakan, maka tidak disalahkan.

Demikian pula hadits yang berkaitan dengan pengetahuan tehnis (misalnya tentang tehnonologi atau kedokteran), Hadist hadits tentang persoalan tehnis ini tidak mengikat, sebab kondisi zaman Nabi dengan perkembangan kaum muslimin tidak otomatis sama. . Namun begitu jika dicoba untuk digunakan (diamalkan) juga tidak disalahkan.

            Tentang fungsi hadits sebagai tafsir al-Qur’an dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.      Para ulama cenderung melihat al-qur’an sebagai satu kesatuan, dan hadits sebagai suatu kesatuan pula . Maksudnya  ayat al-qur’an itu bisa ditafsiri oleh hadits mana saja yang cocok, tanpa memperhatikan waktu turunnya.. Para ulama cenderung merasa tidak penting memperhatikan dan menjelaskan apakah hadits yang digunakan menafsirkan ayat itu diucapkan (dilakukan) nabi setelah  turunnya ayat bersangkutan atau sebelumnya.. Dengan kata lain para ulama tidak keberatan menggunakan  hadits yang lebih awal dari turunnya ayat. Contohnya antara lain tentang hukuman zina mukhson

2.      Semua ulama sepakat bahwa keberadaan hadits (karena dzanni al-wurud) lebih rendah dibawah al-qur’an (qath’I al-wurud). Sungguhmpun demikian sebagian ulama dibawah kepeloporan Imam al-Syafi’I, berpendapat bahwa  sunnah (hadita) tidak boleh dinaskh oleh al-qur’an. Sekiranya sebuah sunnah Rasul dinaskh oleh al-qur’an, maka (menurut al-Syafi’I ) harus ada sunnah baru yang berfungsi menjelaskan ayat tersebut. Dengan demikian , maka sunnah baru inilah yang menasakh sunnah yang lama. Contohnya adalah perpindahan qiblat dari masjid al-Aqsha ke masjid al-Haram. Dengan alasan ini Imam al-Syafii menentang penasekhan hadits-hadits tentang rajam dengan ayat الزانية والزاني … . Sekiranya hukuman rajam dihapus tentu ada pratik atau penjelasan Rasul. Selama tidak keterangan apapun dari Nabi, maka hadits tidak bisa dinasekh oleh al-qur’an.
Otentisitas Hadits Nabi

            Sekiranya hadits Nabi telah tertulis secara sistematis pada zaman Nabi tentu persoalannya tidak sekompleks yang kita rasakan. Sebenarnya tidak sedikit para sahabat yang telamenulis hadits , namun sifatnya hanya untuk kepentingan pribadi. Periwayatan hadits pada umumnya (saat itu) dilakukan melaluio hafalan dan ingatan. Hal ini terjadi karena beberapa faktor :
a.       bahan untuk keperluan tulis menulis sangat langka. Mushaf yang ditulis pada masa Utsman saja hanya terdiri dari empat copy. Untuk itu menulis hadits yang jumlahnya sanghat banyak tentu mengalami banyak hambatan.
b.      Orang yang memiliki kemampuan baca-tulis amat sedikit sehingga dihawatirkan terjadi percampuran dengan al-qur’an
c.       Tradisi saat itu memngharuskan orang melakukan periwayatan dengan lisan, Periwayatan dengan cara yang tidak lazim (misalnya dengan tulisan ) akan dinilai  kurang sempurna;
d.      Pendokumentasian al-qur’an dipandang lebih mendesak di banding hadits

Pembukuan hadits secara resmi baru dilakukan pada abad II  H. pada masa pemerintahan Umar bin Abd Aziz (99-101  H) Namun penulisan secara sistematis dan secara besatr-besaran baru terjadi pada abad III  H. Di antara tokohnya adalah Imam Bukhari ( 194 – 256 H) dan Imam Muslim ( w.261 H) Penilisan ini dianggap selesai pada ahir abad IV  H.

Oleh karena jarak antara masa Rasul dengan masa penulisan secara resmi dan massal  , relatif jauh , maka peran sanad (mata rantai perawi) yang menghubungkan dengan para penulis hadits secara resmi (mukharrij), menempati posisi yang amat penting. Karena itu harus menjadi perhatian serius. Dilihat dari sudut ilmu sejarah , sanad dalam hal ini berfungsi sebagai sumber sejarah. Para sahabat Nabi sebagai perowi pertama merupakan sumber primer, sedang para prerawi generasi berikutnya merupakan sumber skunder. Keabsahan suatu hadits tergantung kepada validitas dan kebenaran sumber tersebut.  Oleh karena demikian pentingnya kedudukan sanad hadits , maka ia disebut sebagai  نصف الدين   .Separuh lainnya terletak pada kebenaran matan hadits. Kritik terhadap sanad disebut sebagai kritik eksternal, النقد الخارجي   sedang kritik matan disebut dengan istilah kritik internal. النقد الداخلي .  Sebuah berita, khabar, atau periwayatan yang dinyatakan sebagai hadits Nabi harus memiliki sanad, tanpa sanad maka khabar itu tidak bisa disebut sebagai hadits Nabi.

Dari segi kuantitas sanad , hadits dibedakan menjadi mutawatir dan ahad (masyhur, aziz dan gharib). Hadit mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan orang banyak  mulai pada thabaqat (generasi) pertama sampai pada para Mukharrij, sehingga bisa dijakini bahwa periwayatan itu tidak mungkin bohong. Maka oleh karena kekuatan (kebenaran) sumber (sanad) nya, hadits mutawatir disejajarkan dengan al-quran sebagai dalil yang qath’I al-wurud. Dengan persyaratan sanad yang cukup ketat tersebut diyakini , bahwa jumlah hadits mutawatir hanya sedikit.

Sedang hadits ahad adalah hadits yang sebagian atau keselutuhan sanadnya belum mencapai jumlah mutawatir. Karena itu masik mungkin mengandung kekliruan. Dan keberadaannya dinamakan dzanni al-wurud. Artinya kuat dugaan berasal dari Rasul , namun tetap ada kemungkinan mengandung kekeliruan. Oleh karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits menjadi amat penting.

Dari segi kualitas, kebenaran hadits mutawatir  tidak perlu diragukan lagi. Sedangkan hadits ahad dibedakan kedalam hadits shahih, hasan dan dha’if. Para ulama berpendapat bahwa hadits sahih dan hasan bisa dijadikan dalil bidang hukum. Sedangkan hadits yang dhaif, menurut sebagain ulama , masih bisa ditolerir penggunaannya (hususnya di bidang keutamaan amal) dengan beberapa syarat: 1). Tidak terlalu lemah, yakni tidak sampai pada tingkat mungkar atau maudlu’; 2) memiliki beberapa jalur sanad, sehingga walaupun kesemuanya dhaif, dianggap saling memperkuat; 3) masalah yang diatur oleh hadits tersebut bukan masalah pokok, tapi masalah perbuatan sunnat atau makruh ( Fadlo’il al-a’mal).

Dalam kaitannya dengan keabsahan suatu hadits perlu digaris bawahi beberapa hal sebagai berikut :
1.      Kaidah ketentuan kualitas hadits (shahih, hasan , dhaif) merupakan produk ijtihad para ulama, dan pada masing masing ulama masih terdapat perbedaan, baik dalam menentukan persyaratan pokok, maupun dalam menetapkan persyaratan tambahan. Oleh karena itu dalam menetapkan penilaian terhadap kualitas perawi dan hadits,. Belum bisa dihindari adanya perbedaan pendapat. Imam al-Syafii cenderung  menganggap sahih dan maqbul  terhadap hadits yang sanadnya sambung dan perawinya orang baik. Tetapi Imam malik masih menambahkan syarat lagi bahwa isi (matan) hadits tidak boleh bertentangan dengan  amal (praktik) yang berlaku di Madinah

2.      Haditys Nabi telah diamalkan sejak Rasulullah masih hidup, kemudian diturunkan kepada generasi berikutnya secara lisan dan terpencar-pencar. Artinya setelah Rasul wafat, para sahabat berpencar keberbagai wilayah dan masing-masing menbawa hadits , kemudian hadits ini diturunkan kepada orang-orang diwilayah masing-masing (beluim bisa disampaikan secara lintas wilayah).Oleh karena itu hadits yang populer di  suatu daerah, belum tentu populeh di daerah lain.
Sementara itu usaha pembukuan secara sistematis dan massal serta kritis, baru dilaksanakan pada abad ke III H.sampai abad IV H., padahal ijtihad yang dilakukan para ulama sudah dimulai pada abad ke II H.(sebelum semua hadits selkesai dibukukan) . Karena itu ada hadits yang sebenarnya populeh di suatu tempat , bisa jadi luput dan tidak dipakai oleh ulama  di kawasan lain. Maka dengan terbukukannya hampir seluruh hadits Nabi, selayaknya antara pendapat para ulama’ madzhab  didialogkan dengan hadits hadits yang telah diteliti para Mukharrij.
Berdasar uraian di atas rasanya tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa didepan kita masih terbuka lapangan yang amat luas untuk melakukan kajian pengembangan pemikiran di bidang hadits. 

HADIST SHAHIH

Ulama’ hadits dari kalangan Mutaqaddimin (ulama’ hadits sampai abad III H), sebenarnya belum mendefinisikan secara eksplisit (sharih) tentang hadits Shahih. Mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan tentang keriteria hadist atau berita yang dapat dipegangi. Imam al-Syafi’I misalnya telah menetapkan keriteria hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah sebagai berikut :

1.      diriwayatkan oleh oleh para perawi yang
a.       Dapat dipercaya pengamalan agamanya ;
b.      dikenal sebagai orang yang jujur;
c.       memahami     dengan baik hadist yang diriwayatkannya;
d.      mengetahui perubahan makna hadits apabila terjadi perubahan lafadnya;
e.       mampu menyampaikan hadits secara lafdzi. Artinya tidak meriwayatkan hadits secara makna;
f.       terpelihara hafalannya, bila ia mereriwayatkan secara hafalan, dan terpeliharacatatannya bila ia meriwayatkan melalui kitabnya;
g.      apabila hadits yang diriwayatkan, juga diriwayatkan oleh orang lain, maka bunyi hadits itu tidak berbeda;
h.       terhindar dari perbuatan penyembunyian cacat (tadlis).

2.      rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi,

Definisi hadits shahih baru dirumuskan secara eksplisit oleh para ulama’ hadits Muta’akhirin (ulama hadist yang hidup sejak abad IV H). Sungguhpun demikian, pada umumnya definisi yang dibuat tersebut tetap mengacu kepada keriteria yang telah ditetapkan oleh ulama’ Mutaqaddimin. Salah satu contohnya adalah definisi yang dirumuskan oleh  Ibnu Shalah (wafat 643 H) sebagai berikut :
Yaitu hadist yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi) , diriwayatjkan oleh perawi yang adil dan dlabit sampai akhir sanad, tidah terdapat kejanggalan (syudzudz) dan tidak cacat (‘illat)
Para ulama’ pada umumnya sepakat dengan definisi ini, akan tetapi hal ini tidak berarti telah terjadi ijma’. Ibnu Katsir misalnya berpendapat bahwa hadits shahih bukan hanya yang sanadnya bersambung kepada Nabi saja , melainkan juga yang benrsambung hanya sampai pada tingkat sahabat, atau lainnya. Sekalipun demukian Ibnu Katsir mengakui bahwa pendapat yang diikuti pada umumnya adalah pendapat Ibnu Shalah.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pengertian hadits shahih adalah :Hadits yang bersambung sanadnya , diriwayatkan oleh orang yang adil dan dlabit, serta tidak terdapat kejanggalan dan cacat.

Pengertian ini telah mencakup persyaratan kesahihan sanad dan matan sekaligus. Keriteria yang mengharuskan persambungan sanad, dan seluruh perawinya harus adil serta dlabit adalah keriteria kesahihan sanad. Sedangkan keriteria keterhindaran dari syudzudz dan illat, selain untuk keriteria kesahihan sanad, juga sekaligus sebagai keriteria kesahihan matan. Atas dasar keriteria ini maka para ulama’ hadits pada umumnya menyatakan bahwa hadits yang sanadnya shahih belum tentu matannya juga shahih. Demikian pula sebaliknya , matan yang shahih belum tentu sanadnya shahih. Jadi kesahihan hadits tidak hanya ditentukan oleh kesahihan sanad saja, melainkan juga ditentukan oleh kesahihan matan. Itulah sebabnya, maka dalam menguji kesahihan seatu hadits diperlukan keritik sanad dan juga kritik matan.

Keriteria atau persyaratan kesahihan hadits sebagaimana tersebut oleh para ulama dinyatakan juga sebagai kaidah mayor, sebab masing-masing unsur di atas masih memiliki persyaratan-persyaratan husus. Misalnya apa saja persyaratan atau kereteria tentang adil, dlabit dll. Keriteria-keriteria khusus tersebut oleh para ulama dinamakan sebagai kaidah minor.


KAIDAH MINOR

KESAHIHAN HADITS


1.      Sanad Bersambung

Yang dimaksud sanad bersambung adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad tersebut, menerima riwayat hadits dari rawi terdekat sebelumnya. Kaadaan ini berlangsung mulai sanad pertama hingga yang terahir.  Artinya seluruh rangkaian perawi sejak dari muharrij sampai pada rawi tingkat sahabat yang menerima hadits langsung dari Nabi, bersambung dalam periwayatan.

    Untuk mengetahui bersambung –tidaknya sanad para ulama biasanya menempuh langkah-langkah berikut:
a.       mencatat semua nama perawi yang terdapat dalam sanad hadits
b.      mempelajari riwayat hidup masing-masing rawi, dengan bantuan kitab-kitab Rijalul haditds, misalnya Kitab Tahdzib al-Tahdzib, susunan Ibnu Hajar al-Atsqalani dll. Tujuannya untuk mengetahui sejarah hidup para perawi, mulai dari tahun kelahiran, tempat kelahiran , tahun wafat dan dimana tempatnya, Apakah semasa hidup mereka terkenal sebagai orang yang adil, dlabit, atau sebaliknya. Ketika mereka belajar hadits, siapa saja gurunya, dan ketika mereka mengajarkan hadits, maka siapa saja muridnya. Apakah di antara mereka yang meriwayatkan hadits itu terjadi pertemuan dan kesezamanan, atau sebaliknya dlsb.
c.       Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat yang satu dengan lannya. Misalnya, apakah kata-kata yang dipergunakan tersebut berupa “Haddatsana, Haddatsani, Akhbarana, Akhbarani, ‘An, ‘Anna, atau Sami’tu dll.

Suatu sanad baru dinyatakan bersambung apabila:
a.       Seluruh perawi dalam sanad tersebut benar-benar Tsiqah (adil dan dlabit)
b.      Antara masing-masing perawi dengan perawi terdekat sebelumnya telah benar-benar terjadi hubungan periwayatan, misalnya terbukti telah terjadi pertemuan dalam satu generasi. Atau antara keduanya terdapat hubungan sebagai guru dan murid.
c.       Sanad hadits tersebut terbukti bersambung sampai kepada Nabi

Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa unsur, atau kaidah minor Sanad Bersambung, adalah muttashil, marfu’, dan mahfudz.

2.      Perawi yang Adil

Kata adil menurur bahasa artinya proporsional, sedangkan secara istilah, hususnya mengenai perawi hadits, dikalangan para ulama terdapat perbedaan dalam menetapkan unsur dan kreterianya.

a.       Imam al-Hakim menyatakan bahwa rawi yang adil adalah meraka yang beragama islam, tidak   berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiyat.
b.      Ibnu Shalah menetapkan keriteria adil; beragama islam, baligh, beraqal, memelihara muru’ah dan tidak berbuat fasiq.
c.       Ibnu Hajar al-Atsqalani menetapkan adil; dengan  taqwa, memelihara muru’ah, tidak melakukan dosa besar, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat fasiq
d.      Al-Tirmisi memberi keriteria adil sebagai orang yang memelihara muru’ah, tidak berbuat dosa besar, menjauhi dosa kecil , tidak berbuat bid’ah, dan tidak berlaku fasiq.
e.       Ibnu Qudamah menentukan adil sebagai orang yang memelihara muru’ah, teguh dalam agama, tidak berbuat dosa besar dan menjauhi dosa kecil.

Dari penjelasan diatas, dapat diambil pemahaman bahwa unsur kaidah minor tentang rawi yang adil adalah beragama islam, mukallaf, taat menjalankan ketentuan agama, dan menjaga muru’ah.
Sebagai catatan, bahwa para ulama’ dalam menentukan rincian dari kaidah minor ini juga masih terdapat perbedaan, misalnya dalam menetapkan keriteria menjaga muru’ah, dlsb. Oleh karena itu bisa dimaklumi jika dikalangan para ulama terjadi perbedaan dalam menilai keabsahan suatu hadits. Suatu riwayat yang telah dinyatakan shahih oleh sebagian ulama , boleh jadi ditolak oleh sebagian ulama yang lain. Dalam kaitannya dengan sikap para ulama  terhadap persyaratan keadilan rawi, dibedakan kedalam tiga kelompok; yaitu kelompok mutasyaddidun (sangat ketat dalam memberikan persyaratan), kelompok  mutawassithun ( tidak terlalu ketat, namun tidak longgar) dan kelompok mutasahhilun ( agak longgar dalam menetapkan persyaratan).

3.      Perawi yang Dhabit

Ada dua istilah dlabit; yaitu dlabith Shadr dan dlabith Kitabah
Dlabith shadr dperuntukkan bagi orang yang :
a.       hafal dengan sempurna hadits yang diterimanya
b.      mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu kepada orang lain
c.       faham dengan baik terhadap hadits yang dihafalnya

Sedang dlabith kitabah adalah istilah bagi mereka yang menerima dan menyampaikan hadits melalui cara al-Qira’ah ala al-Syeikh atau dengan cara ijazah. Kreterianya adalah :
a.       memahami dengan baik tulisan hadits yang tetera dalam kitab yang ada padanya
b.      apabila terdapat kesalahan tulisan dalam kitab, maka ia mengetahui letak kesalahannya
4.      Terhindar dari Syudzudz

Ulama berbeda pendapat tentang pengertian istilah Syadz dalam hadits. Menurut Imam al-Hakim al-Naisabury; Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, tetapi tidak ada perawi tsiqah lainnya yang meriwayatakan hadits tersebut. Jadi menurut al-Hakim, suatu hadits dinyatakan sebagai mengandung syudzudz apabila:
a.       hadits tersebut diriwayatkan oleh seorang perawi saja
b.      perawi yang sendirian itu bersifat tsiqah. Jadi hadits syadz adalah hadits yang sanadnya tidak memiliki muttabi’ atau dsyahid

Menurut Imam al-Syafi’I, suatu hadits tidak atau belum dinyatakan sebagai mengandung syudzudz , bila hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang tsiqah, sedang perawi yang lannya tidak meriwayatkan hadits itu.  Suatu hadits baru dinyatakan mengandung syudzudz, apabila hadits yang diriwayatakan oleh seorang rawi yang tsiqah tersebut bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh banyak rawi yang juga tsiqah. Dari pendapat al-Syafi’I itu dapat disimpulkan bahwa kreteria hadits yang mengandung syudzudz adalah :

a.       hadits itu memiliki lebih dari satu sanad
b.      para perawi hadits itu seluruhnya tsiqah
c.       matan atau sanad hadits tersebut ada yang mengandung pertentangan.

5.      Terhindar dari Illat

Pengertian illat adalah sebab-sebab tersembunyi yang mengakibatkan rusaknya kualitas hadits. Artinya keberadaan illat tersebut menyebabkan hadits yang tampaknya secara lahir shahih, akhirnya menjadi tidak shahih.
Pengertian illat disini berbeda dengan pengertian cacat secara umum. Illat di sini adalah merupakan cacat yang sangat tersembunyi sehingga diperlukan keahlian yang prima dalam melakukan penelitian. Untuk itu diperlukan pemahaman , hafalan dan intuisi yang mendalam. Menurut Ali al-Madiny, untuk mengetahui illat hadits, maka terlebih dahulu semua sanad yang berkaitan dengan hadits bersangkutan harus dikumpulkan untuk diteliti secara seksama. Sesudah itu semua rangkaian dan kualitas perawi diteliti berdasarkan pendapat para kritikus perawi dan illat hadits. Dengan jalan demikian ini barulah diketahui apakah hadits tersebut mengandung illat atau tidak.

6.      Tolok Ukur Kesahihan Matan

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa matan yang sahih adalah yang terhindar dari Syudzudz dan illat. Akan tetapi sampai kini para ulama masih belum memiliki keseragaman dalam menetapkan kreteria kaidah minornya secara tegas. Pada umumnya para ulama’ hanya menetapkan tolok ukur kesahihan matan secara garis besar saja. Misalnya Al-Khatib al-Baghdadi menjelaskan bahwa matan yang maqbul adalah :
a.       tidak bertentangan dengan akal sehat
b.      tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang muhkam
c.       tidak bertentangan dengan hadits mutawatir
d.      tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti
e.       tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati ulama salaf
f.       tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.

Selain ketentuan di atas masih ada lagi yang menambahkan
a.       tidak bertentangan dengan panca indra, dan fakta sejarah
b.      susunan bahasanya mencerminkan ciri-ciri sabda kenabian
c.       isinya tidak bertentangan dengan sunnatullah.

Tolok ukur ini formatnya sangat gelobal , karena itu masih mungkin untuk dikembangkan


KEHUJAHAN HADITS SHAHIH

      Ulama telah sepakat bahwa hadits yang mutawatir wajib diterima dan diamalkan.sebab ia Qath’I al-wurud .Mengingkari hadits mutawatir sama dengan mengingkari Rasul.. Tidak demikian halnya terhadap hadits ahad. Sebagian ulama menyatakan bahwa hadits ahad tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena berstatus Dzani al-wurud. Sebagian lagi berpendapat bahwa hadits ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah untuk masalah hukum , tetapi tidak untuk masalah aqidah. Sebab soal keyakinan harus didasarkan pada dalil yang qath’I, padahal hadits ahad itu tidak qoth’I, tetapi hanya dzanni.

       Berbeda dengan pendapat di atas adalah pendapat yang ketiga, Pendapat ini menyatakan bahwa hadits ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah , termasuk bagi masalah aqidah.. Pendapat ini mengemukakan alasan bahwa hadits ahad yang sahih bisa berstatus qath’I al-wurud. Alasannya :

a.       Suatu hadits dinyatakan dzanni, apabila ia memiliki kemungkinan salah. Hadits yang  telah  diteliti secara cermat dan ternyata bekualitas shahih berarti ia terhindar dari kesalahan. Atas dasar ini maka hadits yang sahih  , walau berkategori ahad, memiliki status qath’I al’wurud
b.      Nabi Muhammad sering mengutus beberapa sahabat untuk menjadi muballigh kepelbagai daerah . Jumlah mereka tidak mencapai kategori mutawatir. Sekiranya penjelasan tentang agama harus berasal dari berita mutawatir, maka niscaya masyarakat tidak akan menerima dakwah muballigh yang diutus oleh Nabi tersebut.
c.       Sahabat Umar pernah membatalkan hasil ijtihadnya, setelah mendengar hadits Nabi yang disampaikan oleh al-Dhahhaq secara ahad.


Petunjuk dan Ketentuan Umum Memahami Sunnah Nabi


Sampai saat ini belum dijumpai perumusan sistematis dan komprehensip yang disepakati oleh para ulama mengenai cara memahami sunnah Nabi. Hal ini terjadi karena para ulama dihadapkan kepada beberapa persoalan akibat dari sunnah Nabi yang kebanyakannya bersifat dhanni al-wurud. Mereka berbeda dalam beberapa hal. Antara lain :

1. Apakah setiap sunnah itu bersifat universal   atau  sebagiannya ada yang bersifat kondisional dan lokal (trikat dengan konteksnya);
2. Sebagai dalil tasyri', mereka berbeda dalam menetapkan persyaratan pengamalannya. Al-Syafi'i berpendapat bahwa setiap sunnah Nabi yang maqbul, tidak terkecuali hadis ahad bisa digunakan sebagai dalil yang otoritatif. Sementara itu ulama Hanafi dan ulama Maliki menetapkan beberapa persyaratan lagi;
3. Terhadap dilalah hadis fi'liyah, mereka berbeda  pendapat mengenai jangkauan otoritas yang dimilikinya.

Untuk itu dalam pembahasan ini akan dikemukakan ketentuan dan petunjuk-petunjuk pemahaman yang bersifat umum, sehingga segala perbedaan yang ada masih dapat tergambar di dalamnya.

Secara umum pemahaman yang terjadi di kalangan para ulama dibagi atas dua kategori, yaitu pemahaman tekstual dan pemahaman kontekstual. Kedua pemahaman tersebut menurut DR. Quraish Shihab sudah dikenal bahkan dipraktekkan sejak awal oleh para sahabat Nabi. Namun demikian mendudukkan antara sunnah yang harus dipahami secara tekstual dengan sunnah yang harus dipahami secara      kontekstual, merupakan perdebatan yang belum ter-selesaikan.

Untuk kepentingan perumusan petunjuk dan ketentuan umum guna memahami sunnah Nabi, diusahakan meng-akomodir beberapa pendapat yang berkembang di kalangan para ulama. Secara rinci formulasi pemahaman tersebut adalah sebagai berikut :

1. Sunnah Nabi merupakan penjelas dan pelengkap al-Qur'an.

Dari paradigma ini, dipahami bahwa sunnah Nabi tidak akan bertentangan dengan al-Qur'an, sebab keduanya berasal dari Allah sebagai petunjuk. Apabila terdapat   pertenta-ngan, maka dapat dipastikan bahwa sunnah tersebut tidak shahih atau pemahamnnya yang keliru. Sebagai bayan al-Qur'an, sunnah Nabi boleh jadi bersifat konfirmatif, atau menjelaskan ketentuan umum. Oleh karena itu ia lebih rinci dan mengandung bnyak dimensi dari pada yang dijelaskan (al-Qur'an).

Berangkat dari pemahaman  di atas, apabila terdapat sunnah Nabi yang secara lahir bertentangan dengan al-Qur'an, maka tidak boleh begitu saja ditolak, tetapi perlu diadakan penelitian secara seksama terlebih dahulu. Di sinilah kahati-hatian dalam menilai sebuah sunnah sangat diperlukan agar tidak terjebak ke dalam kesalah pahaman yang tidak berdasar.

Di antara contohnya ialah tentang hukuman rajam bagi pezina muhshan.. Praktek (sunnah) ini oleh sementara orang tidak dapat diterima karena bertentangan dengan al-Qur'an surat al-Nur ayat 2, yang menyatakan bahwa hukuman pelaku zina didera seratus kali. Tetapi apabila sunnah Nabi dipahami sebagai penjelas dan juklak al-Qur'an maka ketentuan hukuman rajam tersebut bisa merupakan takhshish dari ketentuan al-Qur'an yang bersifat umum. Dengan demikian sunnah rajam di atas tidak bisa dianggap  bertentangan dengan al-Qur'an.

Memang terdapat perbedaan di antara ulama Hanafi, Maliki dan jumhur dalam menetapkan syarat pengamalan hadis ahad, termasuk dalam kaitannya dengan fungsi takhshish terhadap al-Qur'an. Tetapi dalam konteks hukuman rajam di atas, ulama Hanafi (yang meletakkan persyaratan sangat ketat) ternyata juga mengamalkan hukuman tersebut.

Al-Sunnah, kata al-Syafi'i, tidak bertentangan dengan kitab Allah, tetapi akan selalu mengikutinya sesuai dengan ayat-ayat yang diturunkan atau menjelaskan arti yang dikehendaki. Al-Sunnah dalam keadaan apapun selalu     mengikuti kitab Allah. Sebab Allah menegakkan hujjah atas makhluknya melalui dua jalan, yaitu kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya.

2. Sunnah Nabi Tidak Mengandung Pertentangan

Rasulullah sebagai penyampai dan penafsir al-Qur'an diyakini tidak mungkin mengajarkan dua hal yang bertenta-ngan kepada ummatnya. Sebab hal ini akan menimbulkan ketidak pastian dan kekacauan.

Al-Syafi'i dalam al-Risalah menyatakan bahwa tidak ada hadis dari Nabi yang ditemukan, yang bersifat kontradiktif, sebab ia selalu berhasil mempertemukan hadis-hadis yang dianggap bertentangan satu sama lain.  Rasulullah, kata al-Syafi'i adalah orang Arab, kadang-kadang ia memberi pernyataan umum, tetapi kadang-kadang mempunyai konotasi khusus. Jika ditanya sesuatu tertentu, ia akan menjawab sesuai keperluan. Dalam hal ini di antara perawi ada yang mengkhabarkan dengan menggunakan redaksi yang ringkas, tetapi juga ada yang menuturkannya secara lengkap. Dalam pada itu ada juga perawi yang meriwayatkan jawaban Nabi tanpa mengetahui inti pertanyaan yang sesungguhnya, padahal dengan memahami pertanyaan yang diajukan akan mendapatkan pemahaman yang benar. Di sinilah akarnya mengapa terjadi ikhtilaf dalam sunnah Nabi yang disebabkan oleh periwayatan kurang lengkap, sesuai dengan konteks yang dimaksud.

Oleh sebab itu, untuk mendapatkan pemahaman yang benar, harus dihimpun semua hadis-hadis shahih yang   memiliki tema sama, kemudian mengembalikan kandungannya kepada pemahaman yang benar, dengan cara mempertemukan antara yang tlakmu dengan yang muqayyad, menafsirkan yang `am dengan yang khash dan seterusnya. Maka dengan cara ini hadis-hadis yang satu topik akan saling melengkapi dan memberikan pemahaman yang benar.

Di antara contohnya adalah hadis riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah.

5341 حدثنا آدم حدثنا شعبة حدثنا سعيد بن أبي سعيد المقبري عن أبي هريرة رضي اللهم عنهم عن النبي صلى اللهم عليه وسلم قال ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار *

Memperhatikan hadis di atas akan memperoleh kesan bahwa setiap orang yang memakai kain memanjang sampai melewati mata kaki, dianggap telah melanggar dosa. Akan tetapi apabila digabungkan dengan hadis lain yang membahas topik sama, akan memeperoleh pemahaman yang berbeda, yaitu hadis.

5337 حدثنا إسماعيل قال حدثني مالك عن نافع وعبدالله بن دينار وزيد بن أسلم يخبرونه عن ابن عمر رضي اللهم عنهمما أن رسول الله صلى اللهم عليه وسلم قال لا ينظر الله إلى من جر ثوبه خيلاء *

Dari perpaduan dua hadis di atas, dipahami bahwa sesungguhnya larangan yang tercantum pada hadis pertama berlaku bagi orang-orang yang melakukannya dengan sikap sombong. Dengan demikian kedua hadis yang secara tekstual berbeda, setelah dikaji dan dipadukan justru memberikan pemahaman yang saling melengkapi. Untuk itu pemahaman tematik akan banyak membantu penyelesaian hadis-hadis mukhtalif [1]

3. Menghubungkan Kandungan Sunnah Dengan Fungsi Yang Disandang Rasulullah

Sebagaimana dinyatakan dalam pembahasan terdahulu, Rasulullah di samping menyandang predikat sebagai Nabi (rasul), juga sebagai kepala negara, panglima perang, hakim, seorang suami dan pribadi. Menurut Mahmud Saltut mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi dengan mengaitkan pada fungsi yang disandangnya akan memeberi manfaat yang amat besar.

Sebagian ulama menyatakan bahwa sunnah Nabi yang berhubungan dengan fungsinya sebagai rasul ialah berbagai penjelasan yang disampaiakan Nabi tentang kandungan al-Qur'an, macam-macam pelaksanaan ibadah dan penetapan halal haram. Terhadap sunnah demikian ini ulama sepakat bahwa umat wajib mematuhinya.

Sedangkan sunnah yang berkaitan dengan kapasitas di luar fungsinya sebagai rasul, seperti pengiriman angkatan perang, pemungutan dana untuk baitul mal dan lain-lain, di kalangan para ulama terdapat perselisihan pendapat,      menurut sebagian di antara mereka menganggap bahwa sunnah seperti itu tidak merupakan ketentuan syari'at yang bersifat umum. Dalam konteks ini akal fikiran didorong untuk menemukan dan mewujudkan kemaslahatan berdasar petunjuk-petunjuk umum syari'at, sehingga pemahamannya diperoleh dari pendekatan konteks.

Akan tetapi, mendudukkan sunnah ke dalam konteks fungsi yang disandang Nabi, merupakan kerja yang tidak mudah sebab dinding pemisah fungsi-fungsi tersebut  berhimpitan sangat tipis, bahkan hampir tidak bisa  dibedakan. Itulah sebabnya di kalangan para ulama sering terjadi ketidak sepakatan ketika mereka berhadapan dengan suatu sunnah Nabi. Ulama yang sepakat dengan     pemisahan berbagai predikat yang disandang Nabi, cenderung berfikir secara kontekstual, sedangkan ulama lainnya cenderung berfikir tekstual.

Salah satu contohnya ialah hadis Nabi riwayat imam Bukhari dan Muslim,

3896 حدثني إسحاق بن نصر حدثنا محمد بن عبيد حدثنا عبيدالله عن نافع وسالم عن ابن عمر رضي اللهم عنهمما قال نهى النبي صلى اللهم عليه وسلم عن أكل لحوم الحمر الأهلية *

Para sahabat pada umumnya dan jumhur ulama memahami petunjuk hadis tersebut secara tekstual. Namun Ibnu Abbas (w. 69 H.), seorang ahli tafsir di kalangan sahabat, menyalahi pendapat umum tersebut. Dia berpendapat bahwa daging keledai kampung adalah halal berdasarkan sura  al-An'am : 145. Ia juga menyatakan bahwa dirinya tidak mengerti apakah larangan tersebut dimaksudkan untuk melindungi populasi, atau hanya berlaku khusus dalam perang khaibar saja.

Para ulama telah memperdebatkan alasan logis (illat) keharaman daging keledai. Di antaranya ialah : a) Nabi melarang dalam rangka menjaga populasi keledai kampung supaya tidak punah; b) Karena binatang tersebut termasuk rijs; c) Karena binatang tersebut merupakan piaraan rumah; d) Karena Nabi telah melarangnya.

Di antara faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di antara para ulama, ialah perbedaan pandangan mereka terhadap fungsi Nabi ketika menyampaikan hadis. Bagi mereka yang berkeyakinan bahwa pada saat itu Nabi bertindak sebagai rasul, maka larangan yang      terkandung dalam hadis diartikan secara tekstual dan karena itu kandungan isinya bersifat universal. Sedangkan ualama yang berkeyakinan bahwa Nabi pada saat itu   bertindak sebagai panglima perang, maka kandungan makna hadis tersebut diartikan secara kontekstual dan oleh karenanya ia bersifat lokal dan temporal.


4. Perlu Pembedaan Antara Sunnah Qauliyah, Fi'liyah dan Taqririyah

Dalam pembahasan ushul fiqh, sunnah Nabi dibedakan atas qauliyah, fi'liyah  dan taqririyah. Sunnah qauliyah merupakan ucapan yang disampaikan Nabi (di luar al-Qur'an) dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan tasyri'. Sedangkan sunnah fi'liyah ialah penuturan sahabat tentang semua perbuatan Nabi yang berhubungan dengan tasyri'. Adapun sunnah taqririyah ialah laporan sahabat tentang persetujuan dan restu Nabi terhadap perbuatan umat yang berkaiatan dengan tasyri'.

Terhadap sunnah qauliyah, ulama sepakat bahwa ia mempunyai otoritas sebagai dalil, kecuali apabila ada qarinah yang menunjukkan lain. Mengenai sunnah fi'liyah, para ulama membedakan ke dalam dua kelompok. Pertama, sunnah fi'liyah yang merupakan penjelasan terhadap al-Qur'an atau sunnah qauliyah, atau merupakan pelaksanaan hukum. Kedua, sunnah fi'liyah yang bukan merupakan      penjelasan al-Qur'an atau hadis qauliyah.

Terhadap sunnah fi'liyah yang pertama, pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum yang dikandungnya mengikuti hukum yang dijelaskan. Namun dalam praktek masih terjadi perbedaan pendapat. Contohnya ialah tentang tata cara berwudlu. Dalam surat al-Maidah : 6 sudah jelas anggota badan yang harus dibasuh. Tetapi secara operasio-nal masih tergantung pada contoh dan praktek Nabi.     Berhubung cara dan praktek yang dicontohkan beliau sangat beragam, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam menilai praktek Nabi. Misalnya tentang keharusan mengusap kepala. Di antara mereka ada yang mengharuskan mengusapnya secara keseluruhan, tetapi bagi yang lain hanya mengharuskan mengusap sebagian saja.

Hal ini terjadi karena setiap variasi cara yang dicontohkan Nabi tidak diikuti dengan penjelasan verbal, sehingga menimbulkan perbedaan pemahaman. Akan tetapi bila kita kembalikan kepada kaedah di atas, maka berbagai variasi yang dicontohkan Nabi tersebut dapat dipahami melalui pendekatan al-tanawwu' al-ibadah. Semua yang dicontohkan bisa dipilih secara mana suka sesuai dengan instruksi Nabi "shalat-lah kamu sebagaimana engkau  mengetahui aku shalat".

Terhadap sunnah fi'liyah yang kedua, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian di antara mereka menganggapnya hanya sebagai uswah yang tidak wajib. Tetapi bagi sebagian ulama yang lain perbuatan Nabi tersebut perlu dilihat terlebih dahulu apakah bisa dikenali sifat tasyri'nya atau tidak. Apabila bisa dikenali sifat tasyri'nya, maka umat terikat dengan sunnah tersebut sesuai dengan sifat yang ada. Sebaliknya apabila tidak bisa dikenali sefat tasyri' dan arahnya, maka apabila berupa perbuatan ibadah, hukumnya sunnat. Dan apabila tidak berupa perbuatan ibadah, maka hukumnya ibahah.

Adapun terhadap sunnah taqririyah, jumhur berpendapat bahwa sunnah ini hanya memberi faedah ibahah. Akan tetapi apabila sunnah taqriri dianggap bagian dari sunnah Nabi yang mengkomunikasikan pesan agama, maka setidaknya ia memiliki jiwa dan semangat yang akan memandu umat manusia dalam proses pencarian kebenaran melalui teladan Nabi. Dengan demikian, walau secara literal, otoritasnya hanya bersifat ibahah, namun secara kontekstual memiliki jangkauan otoritas yang lebih kuat, sebab sunnah Nabi itu tidak hanya terpaku pada kesan yang muncul di permukaan. Untuk itu sunnah taqririyah jangkauan otoritasnya masih bisa diperdebatkan.

5. Mempertimbangkan Latar Belakang, Kondisi dan Situasi Hadirnya Sunnah Nabi Serta Tujuan Yang Dimaksud.

Untuk memperoleh pemahaman sunnah dengan baik hendaknya mempertimbangkan dan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatar belakangi munculnya suatu sunnah, atau alasan tertentu, baik yang disebut secara eksplisit atau disimpulkan dari peristiwa yang menyertainya. Demikian pula situasi dan kondisi yang meliputi serta di mana dan untuk tujuan apa sunnah tersebut dihadirkan, merupakan alat bantu yang sangat berharga dalam memahami apa yang dikehendaki sebuah sunnah.

Sunnah Nabi (sebagai bagian dari produk riwayat) merupakan wacana teks. Dalam kajian hermeneutik diteorikan bahwa dibalik sebuah teks sesungguhnya terdapat sekian banyak gagasan yang hendak disajikan. Oleh karena itu tanpa memahami motif, suasana psikologis dan sasaran yang dituju (terbayangkan) oleh penyaji sendiri, maka sangat mungkin menimbulkan kesalah pahaman.

Demikian juga halnya dengan tradisi kenabian. Apa yang kita namakan himpunan hadis adalah sebagian saja dari realitas tradisi keislaman yang dibangun oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya, sehingga jika kita memahami teks hadis yang ditarik dan dipisahkan dari asumsi-asumsi sosialnya, sangat mungkin akan terjadi distorsi informasi atau bahkan salah paham. Salah satu contoh ialah hadis riwayat imam Bukhari dan Muslim,

831 حدثنا علي بن عبدالله بن جعفر قال حدثنا حرمي بن عمارة قال حدثنا شعبة عن أبي بكر بن المنكدر قال حدثني عمرو بن سليم الأنصاري قال أشهد على أبي سعيد قال أشهد على رسول الله صلى اللهم عليه وسلم قال الغسل يوم الجمعة واجب على كل محتلم وأن يستن وأن يمس طيبا إن وجد قال عمرو أما الغسل فأشهد أنه واجب وأما الاستنان والطيب فالله أعلم أواجب هو أم لا ولكن هكذا في الحديث قال أبو عبد الله هو أخو محمد بن المنكدر ولم يسم أبو بكر هذا رواه عنه بكير بن الأشج وسعيد بن أبي هلال وعدة وكان محمد بن المنكدر يكنى بأبي بكر وأبي عبدالله *

Tanpa dikaitkan dengan asbab al-wurud, hadis di atas memberikan pemahaman bahwa mandi pada hari jum'at adalah wajib. Tetapi sesungguhnya hadis ini memiliki sebab  khusus. Pada saat itu ekonomi para sahabat pada umumnya masih sulit. mereka banyak yang menjadi pekerja kebun dengan pakaian wol yang kasar. Biasanya setelah menyiram kebun mereka langsung datang ke masjid menunaikan shalat jum'at, padahal cuaca sangat panas, sehingga menjadi sumber keringat yang berbau dan mengganggu ketenangan para jama'ah. Itulah sebabnya maka Nabi bersabda semakna dengan hadis di atas.

Dari keterangan asbab al-wurud tersebut, maka  jelaslah bahwa kewajiban mandi pada hari jum'at memiliki konteksnya sendiri. Oleh karena itu bagi masyarakat yang terbiasa mandi dua kali dengan tempat kerja yang nyaman, di mana tidak menyebabkan terjadinya gangguan kepada para jama'ah, maka tidak dibebani kewajiban mandi ketika akan menghadiri jama'ah jum'at.

Sungguhpun demikian, essensi ajaran yang dibawa oleh kandungan hadis di atas tetap relevan sepanjang masa, bahwa Islam mengajarkan para pemeluknya supaya  tetap menjaga kebersihan terutama dalam melaksanakan ibadah.

Dalam konteks pemahaman ini, Fazlur Rahman menyatakan bahwa apabila sebuah hadius dibaca sebagai hadis semata-mata, yaitu sebagai riwayat yang berdiri sendiri, maka hadis tersebut tidak ada artinya dan sedikit manfaatnya. Tetapi apabila kita benar-benar memahami kekuatan sosiologis yang menyebabkan wujudnya suatu hadis, maka ia sangat penting artinya bagi kita sekarang dan berguna sebagai petunjuk di masa datang. Yang penting kita sadari, bahwa karena sifatnya sebagai petunjuk, maka hadis pada umumnya lebih bersifat indikatif dari pada legislatif secara spesifik.

Jadi melalui pemahaman ini, sunnah Nabi dapat dibuktikan sebagai petunjuk yang mampu menghadapi tantangan zaman yang selalu bergerak dan berubah secara dinamis, karena ia meiliki semangat untuk diinterpretasikan sesuai dengan tantangan yang dihadapi.


6. Perlu Diperhatikan Antara Kandungan Makna Yang Bersifat Ta'abbudi dan Ta'aqquli.

Para ulama membagi ajaran Islam ke dalam kategori ma`qul al-ma`na dan ghairu ma`qul al-ma`na. Ulama sepakat bahwa ajaran yang ta'abbudi tidak dipahami secara konteks. Imam Abu Hanifah yang begitu longgar dalam konteks      pemahamannya, tetapi ketika dihadapkan kepada persoalan pembayaran dam tamattu' berkata, bahwa dam tersebut tidak boleh dibayar dengan uang, tetapi dengan darah yang mengalir. Ia beranggapan bahwa masalah dam adalah   persoalan ta'abbudi.

Yang menjadi persoalan kemudian ialah mendudukkan mana ajaran yang dikategorikan ta'abbudi dan mana yang ta`aqquli. Di sini sering terjadi perbedaan pendapat, karena hal ini termasuk wilayah ijtihadi. Imam al-Syafi'i yang sangat ketat dalam memahami teks hadis, tidak terkecuali di bidang muamalah, berpendapat bahwa pada dasarnya ayat al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi harus dipertahankan bunyi teksnya, walau di bidang muamalah. Sebab menurutnya, bentuk hukum yang ada pada teks bersifat ta'abbudi. Maka oleh karenanya tidak boleh diubah. Maksud syari'at sebagai kemaslahatan harus dipahami secara  terpadu dengan bunyi teks, kecuali bila ada petunjuk yang mengalihkan makna lahiriyah teks.

7. Perlu Pemahaman Terhadap Bentuk-Bentuk Matan Hadis Nabi.

Hadis-hadis yang disampaiakan oleh Rasulullah kepada para sahabat (atau penuturan sahabat tentang Rasulullah), mempunyai bentuk redaksi yang bermacam-macam. Ada yang tersusun dalam bentuk jami` al-kalim (ungkpan singkat namun padat makna) ada pula yang berupa tamsil  (perumpamaan), bahasa simbolik, bahasa percakapan (dialog) dan berupa ungkapan analogi (qiyas).

Memahami pilihan kata yang digunakan oleh suatu hadis sangat membantu untuk memperoleh pemahaman yang sempurna. Rasulullah sebagai orang Arab tentu tidak luput juga menyampaikan pesan-pesannya dengan redaksi yang dikenal di kalangan bangsa Arab, seperti ungkapan dalam bentuk      tamsil, kata simbolik dan lain-lain dengan tujuan supaya mudah dipahami. Di antara contohnya adalah hadis riwayat Imam Bukhari,

1691 حدثنا محمد بن يوسف حدثنا سفيان عن منصور عن أبي حازم عن أبي هريرة رضي اللهم عنهم قال قال النبي صلى اللهم عليه وسلم من حج هذا البيت فلم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه *

Secara tekstual hadis tersebut mengibaratkan orang yang berhasil menunaikan ibadah haji dengan baik, bagaikan bayi yang baru lahir. Tetapi karena ungkapan yang  dipergunakan berbentuk tamsil, maka makna sebenarnya lebih tepat dipahami secara kontekstual. Sebab yang dimaksud ialah bahwa orang yang ibadah hajinya diterima oleh Allah akan memperoleh ampunan dari segala dosa yang telah      dilakukan, sehingga ia bersih sebagaimana pada saat baru dilahirkan.

8. Membedakan Antara Sarana Yang Berubah Dan Sasaran Yang Tetap.

DR. Yusuf Qardlawi menyatakan bahwa di antara penyebab kekacauan dalam memahami sunnah Nabi ialah karena menyampur adukkan antara tujuan dan sasaran yang hendak dicapai dengan sarana temporer (lokal). Apa yang  sebenarnya merupakan saran (lokal) dianggap sebagai  tujuan. Di antara contohnya adalah pernyataan hadis,
5 أخبرنا حميد بن مسعدة ومحمد بن عبد الأعلى عن يزيد وهو ابن زريع قال حدثني عبد الرحمن بن أبي عتيق قال حدثني أبي قال سمعت عائشة عن النبي صلى اللهم عليه وسلم قال السواك مطهرة للفم مرضاة للرب * اخرجه النسائي

Sebagian orang menganggap bahwa membersihkan mulut dengan menggunakan kayu siwak tertentu merupakan anjuran Nabi. Berdasar pemahaman ini, maka pemakaian sikat gigi dianggap tidak memiliki nilai ibadah.

Akan tetapi apabila kita simak dengan seksama maka yang menjadi tujuan sabda Nabi di atas adalah anjuran untuk membersihkan mulut dari segala kotoran dan bau yang tidak sedap. Sedangkan kayu siwak  merupakan sarana yang mudah di dapat pada saat itu. Itulah sebabnya menurut sebagian ulama siwak itu bisa dibuat dari kayu arjun, kayu arak, kayu zaitun atau lainnya yang tidak membahayakan.

Imam al-Nawawi dalam konteks ini, sebagaimana dikutip Yusuf Qardlawi berpendapat bahwa dengan apa saja seorang melakukan siwak asal dapat membersihkan kotoran dan bau mulut, maka ia telah memenuhi anjuran Nabi, baik alat itu berupa sepotong kain atau ujung jarinya sendiri.




PENELITIAN HADITS

 

 

A.    Pendahuluan 


Seandainya periwayatan hadits nabi saw  sama dengan periwayatan al-Qur’an, yakni sama-sama bersifat mutawatir, maka istilah hadits shahih, hasan dan dha’if tidak akan muncul. Ketiga istilah ini muncul karena kebanyakan periwayatan hadits itu bersifat ahad. Para ulama’ sepakat bahwa riwayat yang mutawatir berstatus qath’i al-wurud. Sedangkan untuk hadits ahad, mereka berbeda pendapat; sebagian menyatakan bahwa hadits ahad berstartus zhanni al-wurud, dan bagi sebagian yang lain berpendapar bahwa hadits ahad yang shahih berstatus qath’I al-wurud.
Berdasarkan kenyataan di atas, bahwa dalam periwayatan terdapat hadits yang berstatus zhanni al-wurud, yang mungkin terdapat kesalahan, maka diperlukan penelitian hadits dengan cermat.

Bagian hadits yang diteliti adalah meliputi sanad dan matan.Penelitian sanad, lazim disebut dengan istilah naqd al-sanad (kritik sanad) atau dalam istilah penelitian ilmu sejarah disebut naqd al-khariji (kritik extern). Sedangkan penelitian matan lazim disebut dengan istilah naqd al-matan (kritik matan) atau al-naqd al-dakhili ( kritik intern).

B. Pentingnya Penelitian Hadits


1.      Menurut petunjuk al-qur’an hadits Nabi saw merupakan sumber ajaran islam di samping al-Qur’an, orang yang menolak hadits Nabi saw sebagai hujjah sama dengan menolak petunjuk al-qur’an. Dengan meyakini hadits Nabi sebagai sumber ajaran, maka penelitian hadits , hususnya hadits ahad, memiliki nilai yang penting, agar supaya dalam penggunaan dalil hadits dapat terhindar dari hal-hal yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Sebagai sebuah doktrin yang berasal dari Nabi, maka ke- benarn hadits adalah pasti. Akan tetapi, berhubung hadits nabi yang sampai kepada kita telah melaluki perjalanan yang panjang (melalui proses sejarah), maka mungkin saja dalam perjalanan sejarahnya itu terdapat kesalahan. Itulah alasannya, maka penelitian hadits menjadi amat penting;
2.       Walaupun pada masa Nabi saw, sudah terdapat usaha penulisan hadits secara individual, namun tidak semua hadits nabi sudah tertulis pada masa itu. Masih banyak hadits Nabi yang diriwayatkan melalui hafalan. Dalam pada itu pada perjalanan sejarahnya, hadits  pernah mengalami pemalsuan. Untuk itu maka penelitian hadits Nabi menjadi penting, supaya terhindar dari penggunaan hadits yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
3.      Penghumpunan hadits secara resmi dan massal baru dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abd Aziz (w. 101 H) . Puncak pembukuan hadits ini secara sistematik baru terjadi pada pertengahan abad ke 3 Hijriyah. Maka dengan jarak yang demikian jauh antara masa Nabi dengan masa pembukuan, tidak menutup kemungkinan adanya kasalahan. Untuk itu penelitian hadits menjadi penting dalam rangka menjaga kesahihan hadits.
4.      Jumlah kitab hadits sangat banyak, dan masing-masing memiliki metode yang beragam. Demikian pula persaratan dan keriteria kaidah yang digunakan juga beragam. Dengan demikian , maka dalam menentukan sah tidaknya suatu hadist juga terdapat perbedaan . Nah untuk mendapatkan kepastian kualitas hadits, diperlukan penelitian yang seksama;
5.      Telah terjadi penuturan hadits secara makna. Padahal untuk mengetahui kandungan makna diperlukan pengetahuan tentang susunan teks (redaksi) hadits, hususnya tentang hadits qawli. Untuk itu, penelitian hadits sangat penting.
Walhasil, dengan adanya kegiatan penelitian hadits, baik melalui kritik sanad atau kritik matan, maka akan dapat diketahui apakah sesuatu yang dinyatakan sebagai hadits itu benar-benar merupakan hadits Nabi yang dapat dipertanggung jawabkan atau tidak.
B.     Unsur-Unsur Yang di Teliti 

Sebagaimana disinggung di depan bahwa yang menjadi obyek penelitian hadits adalah sanad dan matan hadits. maka yang akan ditelaah dan dikritik adalah rangkaian perawi dan materi hadits itu sendiri.

Sedangkan bagian sanad yang dijadikan obyek penelitian adalah;
a.       Nama-nama dan  sejarah hidup para perawi yang terlibat dalam periwayatan hadits, baik mengenai keadilannya, maupun kekuatan hafalan. Wal hasil mencakup kredibilitas dan kapabilitasnya.
b.      Lambang-lambang periwayatan hadits yang digunakan oleh masing-masing perawi yang tergabung dalam sanad hadits , misalnya sami’tu, akhbarana, haddatsana, ‘an, anna, qala, dll.

Penelitian terhadap kedua unsur di atas dimaksudkan untuk mendapatkan pembuktian apakah hadits yang bersangkutan benar-benar muttashil atau tidak; marfu’  atau tidak; mahfudl ( terhindar dari syudzuzd dan illat) atau tidak. Di samping itu juga untuk membuktikan apakah para perawi yang tergabung dalam sanad benar-benar adil dan memiliki kekuatan hafalan yang sempurna, atau tidak.

Sedangkan bagian matan yang perlu diteliti pada dasarnya adalah terletak pada redaksi hadits itu sendiri. Hanya saja ,oleh karena dalam periwayatan hadits juga telah digunakan riwayat bil-ma’na, maka perlu dilakukan melalui berbagai pendekatan. Apabila yang diteliti menyangkut hadits Nabi tentang aturan ibadah tertentu, misalnya mengenai bacaan shalat, maka pendekatan yang dipakai adalah pendekatan semantik (redaksi hadits diteliti dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa). Sedangkan apabila hadits yang sedang diteliti menyangkut ketentuan diluar ibadah, maka penelitiannya ditujukan kepada kandungan maknanya. Sungguhpun begitu pendekatan semantik tetap diperlukan dalam rangka membantu menemukan kandungan makna yang benar.

Untuk kepentingan penelitian matan ini, maka disamping pendekatan semantik, diperlukan juga melalui pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip ajaran islam.

C.    Tujuan penelitian hadits

       Tujuan pokok penelitian hadits baik dari segi sanad maupun matan, adalah untuk mengetahuai kualitas hadits yang diteliti, hususnya terhadap hadits ahad.  Sedangkan kepada hadits mutawatir, penelitian ini dimaksudkan bukan untuk meneliti kualitasnya, tetapi lebih ditujukan untuk membuktikan apakah hadits yang diteliti bener-benar berstatus mutawatir atau tidak.
       Sebenarnya para ulama telah banyak melakukan penelitian terhadap hadits, namun penelitian ulang tetap saja perlu dilakukan karena memiliki manfaat. Tujuannya untuk mengretahui  seberapa jauh akurasi penelitian yang telah mereka lakukan, dan berguna untuk menghindari penggunaan dalil yang tidak memenuhi syarat.


Sampurnan, 25 Pebruari 2002









EVALUASI PERKULIAHAN
STUDI AL-QUR’AN DAN HADITS
STAI QOMARUDDIN KELAS HUSUS


1.  Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang azali .  Keazalian itu bersifat tak terjangkau oleh manusia yang bersifat relatif , sebab ia  بلا حرف ولا صوت   . Akan tetapi kenyataannya al-Qur’an sampai kepada kita dalam bentuk bahasa yang bisa dibaca. Bagaimana anda menjelaskan hubungan antara al-qur’an yang azali dengan teks al-qur’an yang ada pada kita, dan apa konsekuensinya  terhadap pemahaman dan tafsir al-qur’an.  (untuk membantu penjelasan ini ada baiknya anda baca bukunya Dr. Qomaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, mulai halaman 101 sampai 123}.

  1. Di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai makna istilah hadits Nabi dengan Sunnah Nabi. Bagaimana anda menjelaskan perbedaan pengertian itu dan apa akibat perbedaan tersebut bagi pemahaman dan pengamalan hadits Nabi.  ( bisa di padukan antara bahan kuluah dengan buku Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis .Editor : M. Mas’udi dan Yunahar Ilyas, hal. 95 –104 ;  141-154 ; sebagai tambahan bisa juga halaman 53 -66)

  1. Dalam al-Qura. Terdapat pembagian  ayat makiyah dan madniyah. Pebagian ini berakibat pada penentuan ayat-ayat hukum.  Kemukakan 3 ayat Makiyah yang dijadikan dalil hukum.

  1. Sementara itu dalam hadits Rasul terdapat pembagian  hadits qawli dan fi’li. Pembedaan ini berakibat pada  pemahaman terhadap hadits fi’li., dan pada gilirannya terdapat ikhtilaf dikalangan ulama.  Berikan 3 contoh hadits f’li yang digunakan sebagian ulama’ sebagai dalil, tetapi tidak dipakai oleh ulama yang lan.

  1. Baik dalam pembahasan al-qur’an maupun hadits sama-sama dikenal  term qath’I dan dzanni. Terangkan masing-masing dengn contoh.




[1] Secara umum metode penyelesaian  melalui pemahaman tematik ini mirip dengan  metode al-Jam’u yang telah berkembang di kalangan ulama’ hadits . Mtode ini meliputi :
One.            Penyelesaian hadits mukhtalif melalui pendekatan  kaidah Ushul;
Two.           Penyelesaian berdasar pemahaman kontekstual;
Three.       Penyelesaian berdasar pemahaman korelatif;
Four.          Penyelesaian  dengan menggunakan ta’wil;
Five.           Penyelesaian berdasar pemahaman tanawu’ al-ibadah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar