Jumat, 06 Juli 2012

PROSES PERKEMBANGAN ISTILAH AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH


          Pemikiran Islam yang kita nikmati hari ini tidaklah muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui proses yang panjang ; suatu proses pergumulan yang melibatkan dinamika internal kalangan ummat Islam sendiri dengan faktor eksternal. Oleh karena itu dalam memahami fonomena dan ciri-ciri pemikiran Islam , perlu menempatkannya secara proporsional dalam konteks kesejarahan, agar tidak terjebak dalam pemahaman yang a-historis.
            Salah satu fenomena pemikiran Islam adalah konsep dan pemaknaan Asawaja (Ahlus Sunnah wal Jama’ah). Pemahaman terhadap konsep ini sering dianggap memiliki pemaknaan yang sama sejak zaman Nabi hingga sekarang, di segala ruang dan waktu. Tetapi jika digali secara historis maka istilah ahlus Sunnah wal Jamaah ini merupakan aliran pemikiran yang mengandung spectrum yang luas, ia merupakan gabungan dari pemikiran berbagai kelompok Islam yang ingin mempertahankan dan melestarikan sunnah Nabi dan tradisi baik yang berkembang di kalangan kebanyakan kaum muslimin (al-Jam’ah), yang telah berkembang sekitar abad II sampai dengan V H.

Perkembangan Istilah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah


       Dalam masyarakat Islam , Ahlus Sunnah  Wal jama’ah, telah diakui sebagai ideology dari berbagai gerakan dan organisasi. Di Indonesia yang paling terkenal secara institusi sebagai gerakan pembela Ahlu sunnah wal Jamah adalah Nahdlatul Ulama (NU) dengan batasan mengikuti Pemikiran Asy’ari dan Maturidi (bidang akidah), mengikuti salah satu ampat Madzhab (fiqih), mengikuti al-Ghazali dan al-Baghdadi (ahlak/tasawwuyf). Kalangan Persatuan Tarbiyah Islam(PERTI) merumuskan Asawaja tidak jauh berbeda dengan NU, dengan rumusan yang lebih ketat (karena cenderung meyesatkan pengikut Ibnu Taimiyah dan Wahabi). Sedangkan Matoli’ul  Anwar ,merumuskan Aswaja, secara esensial, tidak jauh berbeda dengan NU, namun gerakan ini dapat mengakomodir Pengikut Ibnu Taqimiyah dan Wahabi. Adapun Kalangan Muhammadiyah, secara implisit juga mengakui ediologi Aswaja. Hal ini bisa kita lihat dalam salah satu keputusan Majlis Tarjih, yang menyatakan bahwa keputusan tentang Iman merupakan aqidah Ahlul Haqqi wassunnah.
       Dari penjelasan di atas , menunjukkan kepada  kita, betapa Aswaja diyakini oleh berbagai kalangan sebagai satu-satunya aliran pemikiran yang benar san selamat, dan telah dipahami dengan pengertian yang beraneka ragam oleh berbagai kelompok gerakan Islam.
            Sebelum istilah Aswaja dikenal sebagai sebutan yang menunjuk kelompok /madzhab dan kekuatan politik tertentu, ada beberapa istilah yang digunakan. Istilah-istilah tersebut memberikan identifikasi terhadap  aliran dan kelompok yang nantinya dikenal dengan Istilah ahlus sunnah wal jamaah.
            Kelompok Hanabilah (pengikut Madzha Hambali) menyebut kelompoknya sebagai Ahlus sunnah wal-jamaah wal-atsar ketika menentang kelompok ahlurra’yi, ahlul kalam dan ahlul bid’ah. Abu Hasan al-Asy’ari dalam bukunya yang berjudul Maqalatul Islamiyah…menyebut aliran pemikiran yang diikutinya dengan istilah Ahlul Hadits was Sunnah, Ahlus Sunnah wa Ashabul Hadits, Ahlu sunnah wal Istiqamah dan Ahlul Haqqi was Sunnah. Istilah-istilah tersebut mengandung beberapa gagasan sebagai berikut:
            Pertama, kata al-Sunnah memberikan pengertian bahwa mereka secara konsisten tidak hanya mengikuti sunnah Nabi saja, tetapi juga mengikuti tradisi para sahabat dan generasi sesudahnya yang disebut dengan ulama’ salaf, sebagai representasi pemahaman Islam yang asli (murni dan jauh dari penyimpangan). Kedua, kata al-Hadits memberikan pengertian akan komitmen mereka untuk selalu mengikuti ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi saw sebagaiu sumber otoritatif setelah al-Qur’an. Ketiga, kata al-Haq, secara eksplisit menganggap bahwa pemahaman mereka tentang Islam itu sebagai satu-satunya kebenaran. Keempat, kata al-Istiqamah menunjukkan konsistensi mereka  untuk selalu terikat dengan keyakinan yang mereka pahami, dan karena itu siap untuk mempertahankannya. Kelima, kata al-Jamaah, menunkjukkan adanya kesadaran histories perjalanan sejarah kaum muslimin atas landasan kekuatan mayoritas. Dengan kata lain mereka akan menjaga kontinuitas sejarah kaum muslimin dari segala bentuk perpecahan  dan disintegrasi.
Maka atas dasar yang terahir  inilah, kelompok Sunni (pengnut Aswaja) mengakui keabsahan  Dinasti Amawiyah dan Abbasiah, walaupun system pemerintahan mereka dilaksanakan dengan praktik nepotisme dan sectarian.
Pada saat itu aliran Asy’ariyah dan Maturidi belum dikenal, sebab aliran ini baru muncul pada abad IV H. Jadi Istilah ahlussunnah yang digunakan sebelum abad IV H lebih tertuju dan menunjuk pada ahlul Hadits. Aswaja dalam pengertian Madzhab,  baru digunakan secara resmi oleh  al-Ukhbari, seorang ulama pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Bersamaan dengan itu muncul kesadaran dari berbagai kelompok gerakan Islam untuk menjadi aswaja dalam pengertian akidah, walaupun aliran fikih mereka berbeda-beda.
Lalu apa ukuran Aswaja pada saat itu.? Jika yang menjadi ukuran adalah pemahaman literer terhadap ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an , sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad bin Hambal dan pengikutnya yang  dikenal anti bid”ah (terutama sepanjang abad IV dan V H), maka sesungguhnya Aswaja itu adalah komunitas muslim yang  ekstrim anti Syi’ah dan Muktazilah (termasuk ahli Kalam), bahkan mereka melakukan perlawanan bersenjata.
Selanjutnya ketika Abu Hasan al-Asy’ari(260-335 H) memproklamirkan diri keluar dari Muktazilah dan membangun pemikirannya sendiri, maka pemikirannya itu nampak lebih cenderung sebagai pendukung ahli Hadits sebagai lawan ahli kalam. Hal ini dapat diketahui melalui kitabnya yang  berjudul “Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah”. Namun dalam perkembangan selanjutnya pemikiran al-Asy’ari mengalami perubahan dan lebih cenderung pada pemikiran ahli Kalam. Hal ini bisa dilihat pada bukunya yang berjudul “Istihsan al-Haudli fi Ilmi al-Kalam”.
Partanyaan yang muncul kemudian, mengapa terjadi pergeseran pemikiran dalam diri al-Asyari?. Ada dua pendapat . Pertama, Ketika al-Asy’ari keluar dari metode berfikir Muktazilah, ia cenderung ekstrim anti Muktazilah sekaligus menyatakan sebagai pembela Ahmad bin Hambal. Pada waktu inilah ia menuangkan pikirannya dalam al-Ibanah. Kemudian setelah kondisinya mulai setabil, maka ia harus menyelesaikan problem teologisnya secara moderat. Dalam kondisi demikian, maka ia menulis buku Istihsan, sebagai kritik terhadap metode berfikir ahli hadits yang cenderung literal. Kemudian ia menulis buku “al-Luma’” sebagai kritik terhadap metode berpikir muktazilah yang cenderung liberal dalam menggunakan akal dan rasio. Melalui buku al-Luma’ , ini metode berpikir al-Asyari menjadi penengah dan menjadi titik temu antara penggunaan dalil nash dan akal. Maka metode inilah (tawassuth, tawazun) yang dijadikan paradigma pemikiran kalangan Aswaja dalam menghadapi ber bagai persoalan teologis.
Ke dua, al-Asy’ari  menulis buku “al-Ibanah” dibawah tekanan kelompok Hanabilah yang sangat ekstrim dan kasar dalam mengancurkan para pemikir yang berbeda dengannya. Dalam kaadaan demikianm, maka Al-Asyari menulis al-Ibanah, yang isinya antara lain memuji Ahmad bin Hambal dan pemikirannya, guna menangkan suasana. Namun setelah suasana lebih kondusif, al-Asyari menulis buku Istihsan, yang mengkritik pemikiran dan pengikut ahli hadits (pengukut Ahmad bin Hambal) sebagai orang “bodoh” karena terlalu fanatin dan anti takwil.
Pada saat yang hampir bersamaan, di kota Samarkand muncul tokoh Abu Mansur al-Maturidi (333 H)yang juga merumuskan teologinya berdasar pemikiran yang moderat. Secara metodologis rumusannya banyak kesamaan dengan teologi Asy’ariyah. Yang agak berbeda antara teologi As’ary dan Maturidi ialah dalam hal menentukan nilai baik dan buruk, mengetahui adanya Tuhan dan masalah Ikhtiyar manusia. Dalam hal ini Maturidi lebih liberal dari As’ari, sebab menurut Maturidi, akal dapat mengetahui ketiga persoalan tersebut. Sementara bagi As’ari, akal baru tahu setelah ada petunjuk wahyu.  Perbandingan antara pemikiran Asy’ari dan Maturidi ini selanjutnya dikembangkan oleh al-Baqilani (1013 H), al-Baghdadi (1037 H), al-Juwaini (1087 H ) al-Ghazali dll. Melalui pengembangan ini, maka teologi Aswaja akhirnya menemukan bentuknya yang sempurna dalam rangka menghadapi problem teologis pada kurun waktu abad IV-V H.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa embrio teologi Aswaja yang semula ditentukan oleh kalangan ahli Hadits dengan tokoh sentralnya Ahmad bin Hambal, setelah tampilnya al-Asy’ari , al-Maturidi dan murud-muridnya, maka teologi Aswaja tersebut mengalami “rasionalisasi”. Corak pemikiran ini kemudian disebut sebagai “Sunni Khalafi”(Aswaja Khalafi). Sedangkan corak pemikiran ahli hadits disebut “sunni Salafi” (Aswaja Salafi). Dari penjelasan ini maka dapat dipahami mengapa pada abad IV-V H sering terjadi konflik internal Aswaja antara  salafi dan khalafi. Konflik ini demikian parah, karena saling mengkafirkan, bahkan dirasakan sendiri oleh Al-Asy’ari. Kaum Hanabilah sangat beringas. Ketika al-Asy’ari wafat, jasadnya dikebumikan secara rahasia di Syir’at Mazaya, dan batu nisannya dihilangkan, karena hawatir kelompok Hanabilah membongkar dan menbakar jasadnya.
Pertikaian antara Aswaja salafi dan khalafi terus berlanjut, bahkan kaum Salafi dapat dikatakan unggul, karena didukung oleh para penguasa. Salah satu contohnya adalah Khalifah al-Qa’im (abad V H)  menegaskan untuk  membenarkan akidah Salafi, dan mengutuk teologi Muktazilah dan Aswaja Khalafi.  Teologi Aswaja Khalafi baru bisa leluasa pada masa al-Ghazali (450-505 H), akibat dukungan tidak langsung dari seorang wazir bernama Nidzamul Muluk. Pada masa ini konflik bisa diredam, sehingga al-Ghazali dapat mengembangkan Aswaja Khalafi melalui bukunya “Al-Iqtishad fil i’tiqad”. Dari mulai masa al-Ghazali inilah Aswaja Khalafi mengalami perkembangan cukup pesat, karena ajarannya yang moderat (i’tidal/tawassuth).  Sementara Aswaja Salafi mulai redup, karena sifat ektrimnya(tatharruf). Teologi Aswaja Salafi mulai bangkit kembali mulai masa Ibnu Taimiyah (abad VIII H).

Khatimah


            Dari penjelasan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa istilah Alus Sunnah wal Jamaah sebagai aliran pemikiran dan sebagai madzhab, tidak serta merta terbentuk dan menjadi baku. Sejarah menunjukkan bahwa pemikiran sunni dalam bidang teologi, hukum dan tasawwuf, tidak terbentuk dalam satu masa, tetapi muncul secara bertahap dalam kurun waktu yang berbeda. Masing-masing bidang diformulasikan oleh para ulama yang hidup dalam kurun yang berbeda pula. Dengan demikian paham Aswaja adalah akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan oleh para ulama untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul pada zaman tertentu.
            Penjelasan ini bukan berarti paham Aswaja tidak memiliki format dasar yang baku. Para ulama sepakat bahwa sejak permulaan Islam, paham ini sudah memiliki format dasar yang baku, yaitu  suatu pemikiran keagamaan yang menjadikan hadits Nabi saw sebagai rujukan utamanya. Secara umum, Aswaja dapat  di bagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, kelompok ahli hadits yang dipelopori Imam Ahmad bin Hambal, dan kemudian dikemmbangkan oleh Ibnu Taimiyah. Aliran pemikiran ini disebut dengan Aswaja Salafi (Sunni Salafi). Kedua, Ahli Kalam yang dipelopori Al-Asy’ari dan al-Maturidi, kemudian dikembangkan oleh Al-Juwaini, al-Baqilani, al-Ghazali, dan di masa modern dikembangkan antara lain oleh Muhammad Adduh. Aliran ini disebut sebagai Aswaja Khalafi (Sunni Khalafi).
            Sebagai suatu istilah, Ahlussunnah wal jamaah sudah dikenal sejah zaman Nabi saw dan sahabatnya, tetapi sebagai aliran pemikiran, baru dikenal pada abad III H. yang diwakili kelompok ahli hadits, kemudian dirasionalisasikan oleh Al-Asy’ari dan al-Maturidi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar