Rabu, 20 Juni 2012

ISLAM DAN SUMBANGANNYA BAGI PERADABAN


 

Islam, Agama Untuk Kesejahtraan Manusia


وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين(107)الانبياء
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

            Ayat di atas secara jelas dan tegas menyatakan bahwa missi yang diemban Rasul Muhammad saw adalah untuk menyantuni seluruh penghuni alam semesta ini, yang berpusat pada manusia, karena mereka yang memiliki kemamapuan lebih dibanding penghuni alam yang lainnya. Itulah sebabnya, maka mereka diamanati sebagai khalifah memakmurkan bumi ini dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada, yang pada gilirannya demi kemaslahatan mereka sendiri. Oleh karena itu, maka ajaran yang dibawa Rasul Muhammad tidak mungkin bertentangan dengan missi mulya ini, dan senantiasa selaras dengan nilai kemanusiaan.

            Sebagaimana ideology, Islam hadir menawarkan janji pada manusia untuk membangun kehidupan yang beradab dan sejahtra. Maka konsekuensinya harus mampu membuktikan dan siap diuji oleh sejarah. Di samping itu juga berfungsi sebagai kaca mata yang dapat digunakan oleh kaum mukmin untuk memandang dunia dan mengkonstruk realitas yang ada. Dengan mengutip ayat 110 Ali Imran “Engkau telah menjadi umat terbaik yang ada di tengah-tengah umat manusia, seraya menganjurkan kebaikan dan melarang kejahatan, dan yang beriman kepada Allah”, Marshall G. Hodgson, menyatakan bahwa vissi umat islam sangat jelas yaitu tampil sebagai umat terbaik, karena komitmennya untuk selalu menegakkan kebaikan dan melarang kejahatan seraya beriman kepada Allah. Beriman dan yakin akan ALLAH merupakan ajaran yang fundamental dan akan berpengaruh bagi kehidupan seseorang dan masyarakat untuk menegakkan moral. Atas dasar pemikiran ini maka statemen al-Qur’an di atas harus diwujudkan oleh umat Islam , sehingga keunggulan Islam benar-benar nyata dalam sejarah kehidupan ini.

            Islam adalah kepasrahan. Sedang Muslim adalah orang yang memasrahkan diri sepenuhnya kepada  Allah. Makna ini tidak berkonotasi pada sikap pasif , sebab Allah senantiasa menganjurkan  manusia  agar mengerjakan hidupnya secara penuh. Pasrah kepada Allah ialah keinsafan terhadap perananNya. Seorang muslim harus terus senantiasa berusaha mencari, berijtihad serta berinovasi dan tidak berhenti kreatif membaca kehendak Allah, agar bisa memasrahkan diri kepadaNya. Oleh karena itu seorang muslim harus mengasah kepekaannya supaya mampu menangkap dan membaca kehendak dimaksud, baik yang terhampar di alam semesta ini mapun tertulis dalam kitab al-Qur’an.

            Islam adalah sebuah system nilai yang bersumber dari firman-firmanNya. Dari sumber tersebut memancar air yang belum berbentuk, dan adalah kewajiban setiap muslimin untuk menemukan bentuk serta  prosudur penerapannya di dalam kehidupan nyata.. Di sinilah ijtihad tidak boleh terhenti dan harus senantiasa dibangun secara kontinue sesuai dengan derap zaman dan tantangannya. Dari pengertian ini diperoleh kesimpulan bahwa pasrah (ber-islam) ialah kepatuhan terhadap nilai-nilai tersebut, dan untuk mencapai wujud kesetiaan tersebut ternyata tidak cukup hanya  dengan menjalankan aturan peribadatan (sisi fikih) belaka. Tetapi juga dengan terus menerus bertindak kreatif mencari manemukan maknanya bagi kehidupan nyata, baik secara individu mapun kolektif. Lebih dari itu juga menuntut setiap muslim supaya senantiasa menumukan proyeksi dari firman-firmanNya dalam kancah realitas.

            Dari pemaknaan ini jelas bahwa pemeluk Islam bukan sekedar memerlukan lidah mengucapkan kalimat Syahadatain  dan keterampilan tehnis tata peribadatan belaka, tetapi menuntut kemampuan kreatif pemikiran secara kaffah, baik dari sisi social, budaya, ekonomi, politik, seni dan sebagainya,[1] sesuai dengan missi ‘Islam diturunkan ke dunia ini mengemban misi rahmatan lil alamin” (penyelamatan, perdamaian dan kesejahtraan bagi seluruh penghuni alam semesta)


Islam Dan Pengembangan Peradaban

            Secara inhern ajaran Islam mengandung begiti banyak prinsip kemodernan, baik di bidang politik , ekonomi dan sain, sehingga Islam sesungguhnya tidak memiliki hambatan teologis dan epistimologis ketika memasuki dunia modern. kata Ernest Gellner. Di antara tradisi keagamaan yang ada, Islam memiliki keunikan. Dimulai dari kalangan Arab dengan iklim yang panas dan gersang, sejak dini Islam telah menjadi internasional, berkembang di daerah utara yang paling dingin dan di daerah tropis yang paling lembab. Kepercayaan Islam terkenal karena kemudahannya untuk dipahami, dan ajarannnya yang sangat essensial bisa dijelaskan secara sederhana, sehingga dibalik keragaman budaya para pemeliknya mudah sekali dijumpai elemen-elemen yang sama, yang menyatukan mereka. Bahkan sosok Rasul Muhammad saw , sang pembawa ajaran adalah figure sejarah yang transparan, perjalanan hidupnya tidak ada yang tertutupi oleh berbagai misteri dan spekulasi. Secara histories-sosiologis, salah satu prestasi yang mencolok dalam Islam adalah kemampuannya menciptakan kohesi social dari berbagai suku yang beragam dengan konsep tauhid yang mudah dicerna., dan keterbukaan Islam untuk menerima symbol dan elemen cultural sebagai media ekpresi dan penyangga pesan dan eksisitensi Islam. Perkembangan ini terus berlanjut dan proses simbiosis ini akan semakin kompleks dan colorfull (warna warni) ketika sejumlah pemeluk Islam kian berkembang dan menjumpai masyarakat baru dengan symbol-simbul budaya yang juga baru.
            Dalam sejarahnya , ekpresi dan artikulasi Islam pada tataran sejarah dan peradaban menunjukkan karakter yang berbeda manakala umat Islam bertemu dengan warisan peradaban luar. Misalnya ketika Islam masuk ke Parsia, (sebuah ranah intelektual yang sangat akrab dengan warisan Yunani yang rasional dan filsafat India yang mistis), maka Islam mensintesakan keduanya, sehingga dari Parsi bermunculan pemikir yang berciri tasawwuf-falsafi. Jadi apa yang sering kita namakan puncak-puncak peradaban Islam , sesunguhnya merupakan kebudayaan hibrida yang dinafasi oleh prinsip-prinsip dan semangat tauhid, sehingga watak peradaban Islam pada dasarnya bersifat inklusif, toleran dan terbuka bagi inovasi dan pengembangan intelektual keislaman yang coraknya berbeda dari ekspresi keislaman di tempat kelahirannya, yaitu Makkah dan Madinah.
            Dari sini dapat dinyatakan bahwa di samping sebagai gerakan tauhid (dan politik), Islam juga merupakan kekuatan penyebar peradaban dunia, yang secara gemilang mampu menjembatani dan membangun wilayah-wilayah peradaban local dan mondial. Hal ini dimungkinkan antara lain karena ajaran Islam mengormati dan menghargai penalaran, dan ekplorasi  ilmiah secara menakjubkan telah mampu menyulap masyarakat  Jahiliyah menjadi khaira umat , dari masyarakat yang gersang tak terjamah peradaban luhur, tiba-tiba berubah menjadi mata air peradaban Islam yang tetap berkembang hingga sekarang.
            Salah satu hambatan yang perlu diwaspadai, supaya Islam tetap produktif  membangun peradaban adalah benturan dan konflik, baik secara politik maupun lainnya. Sejarah telah membuktikan bahwa konflik yang berkepanjangan, baik sesama muslim atau antara sesama pemeluk agama lain, mulai perang salib hingga perebutan kekuasaan internal umat islam, telah menggangu masa-masa produktivitas Islam yang menjadi mercu suar peradaban dunia. Oleh karena itu sekali lagi jika umat Islam tetap bercita-cita sebagai umat yang terbaik, harus berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menghindar dari berbagai benturan, termasuk benturan budaya yang diprovokasi oleh Samuel Huntington dengan teorinya Clesh of Civilizatioan, sebab umat Islam sejak awal pertumbuhannya telah menunjukkan visi, potensi dan prestasinya yang sangat menakjubkan dalam membangun peradaban unggul dengan cara damai, intelektual dan beradab., Hal ini terbukti dengan begitu banyak ilmuan kelas dunia yang telah lahir dari dunia Islam, dan betapa besar sumbangannya untuk mengantarkan lahirnya ilmu pengetahuan dan peradaban modern. Flsafat Yunani dan kajian rasional empiris yang berkembang  di Barat merupakan kontribusi besar dari dunia Islam tetah mendapatkan pengakuan sejarawan dunia.
Di atara para ilmuan muslim yang telah menyumbangkan beradaban gemilang itu antara lain :
1.      Jabir bin Hayyan(Geber) dalam ilmu kimia, dikenal sebagai bapak ilmu kimia
2.      Hunain bin Ishak(809-877 M) dalam ilmu kedokteran dan filsafat
3.      Tsabin bin Qurra’(825-901 M)dalam ilmu kedokteran
4.      Al-Razi (865-925 M) dalam ilmu kedukteran dan kimia. Di Barat dikenal dengan nama Rhazes
5.      Al-Kindi dalam ilmu fisika dan filsafat. Tulisannya tidak kurang dari 256 jilid. 15 buah di antaranya tentang meteorology, ilmu angin (udara), ilmu kelautan, Ilmu tentang cahaya dan mata, serta ilmu tentang musik.
6.      Ibnu Sina (980- 1037 M), di Barat dikenal dengan nama Avicena. Memiliki keahlian bidang kedokteran, filsafat dan geologi
7.      Al-Farabi (W. 951 M) dalam bidang ilmu filsafat
8.      Muhammad, Ahmad dan Hasan (Putra dari Musa ibnu Syakir), ahli bidang tehnik pengairan dan matematika
9.      Ibnu Washiyah (800 M) dalam Ilmu pertanian
10.  Muhammad al-Damiri (w. 1405 m) dalam ilmu hewan
11.  Al-Khawarizmi (835-894 M) dalam ilmu al-Jabar dan aritmatika (imu ukur ruang)
12.  Al-Farghani dalam ilmu astronomi
13.  Ibnu Rusyd /Averros (w. 1198 M) dalam bidang ilmu filsafat dan kedokteran
14.  Ibnu Khaldun (w. 1406 M) dalam ilmu sejarah, sosiologi dan filsafat

Risalah Rasulullah Muhammad saw telah membuktikan sebagai rahmat bagi alam semesta. Ia bukan hanya menyelamatkan, tetapi juga telah membangun manusia menjadi makhluk yang berperadaban. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa kaum muslimin dan dunia Islam yang telah memiliki asset politik dan peradaban yang tak tertandingi pada masanya itu gagal mengantarkan dunia Islam menjadi pelopor kemajuan sain dan tehnologi modern di dunia Islam sendiri?. Di antaara salah satu sebabnya ialah karena ummat Islam tidak mamapu membangun institusi riset dan besar dan indipenden. Kuatnya tradisi teks dan kekuasaan ulama yang lebih mementingkan  ritual dan kekuasaan politik (katimbang membangun peradaban) telah menyi-nyiakan  asset intelektual yang luar biasa , yang di miliki kaum muslimin.
Secara normative dan kesejarahan, tradisi dan peradaban Islam sebenarnya sangat kaya dan sebagai sumber yang tak pernah  kering bagi kaum muslimin, namum efektifitas pengembangan peradaban itu hanya akan terjadi jika didukung oleh  adanya iklim kebebasan berekpresi dan berekperimentasi denga didukujng oleh institusi yang professional dan dana yang cukup. Pengalaman mengajarkan bahwa potensi imat Islam yang lebih banyak tercurahkan pada aspek ritual dan perebutan kekuasaan politik, akan menelantarkan proyeks besar Islam untuk mewujudkan jajninya sebagai ummat terbaik dan unggul dalam peradaban dan kemanusiaan.


Sampurnan, Mei 2008

ISLAM DAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

            Tema ini bisa mengandung berbagai perspektif; normative, filosofis, histories, sosiologis dan sebagainya. Dalam pembahasan ini akan mengambil sudut pandang normative, sebuah perspektif yang mengemukakan ujaran dan ajaran yang termaktub dalam sumber  utama Islam.

            Secara tekstual sangat gampang dapat ditemukan berbagai firman Allah dalam al-Qur’an dan sabda Nabi saw yang tegas-tegas mendorong supaya kaum muslimin membaca dan memikirkan fonomena alam semesta ini. Baik yang bersifat kongkrit maupun yang abstrak. Ketika Nabi Muhammad memperoleh wahyu pertama, ayat yang diterimanya adalah perintah membaca (al-Alaq 1-5). Dalam ayat ini tidak dijelaskan apa yang menjadi obyek pembacaan. Ini berarti bahwa semua fenomena alam , seluruhnya bisa dijadikan sebagai obyek pembacaan. Surat al- Alaq hanya memberikan garis, bahwa pembacaan itu harus dilandasi dengan “menyebut asma Allah”. Oleh para ahli disimpulkan bahwa membaca apapun yang dilakukan umat Islam harus dalam kerangka tugas pengabdian dan ibadah kepada Allah.

            Berdasar penjelasan ini maka umat Islam memiliki hak untuk mengembangkan berbagai pengetahuan dan tehnologi yang bermanfaat, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Abdus Salam, seorang muslim pemegang hadiah Nobel 1979 dalam ilmu fisika menyatakan: “Tafakkur adalah berefleksi, berfikir tentang dan menemukan hukum-hukum alam(sain). Sedang tasykir adalah memperoleh pengetahuan atas alam (tehnologi). Keduanya, sepanjang zaman, merupakan dorongan-dorongan seluruh umat manusia. Adalah keagungan Islam bahwa al-Qur’an dengan perintah yang berulang kali, mengandung suruhan untuk bertafakkur dan bertasykir(mengejar sain dan tehnologi), sebagai kewajiban atas masyarakat muslim”.

Sumber-sumber Ilmu Pengetahuan

            Al-Qur’an menunjukkan empat sumber  untuk memperoleh pengetahuan:
1. Al-qur’an dan Sunnah Nabi. Keduanya merupakan sumber pertama ilmu. Al-qur’an berulang kali meningatkan  supaya kita memikirkan ayat-ayatNya dan mengambil pelajaran, serta mengingatkan kita untuk mengambil Rasul sebagai contoh dan teladan.

Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Qur'an) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memikirkan dan memahaminya.(Q.S. Yusuf 1-2)

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.(QS. Shad 29)

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS. Al-Ahzab 21)

2. Alam semesta adalah sumber kedua. Al-qur’an menyuruh kita memikirkan keajaiban ciptaan Allah, proses pertubahannya dan hubungannya dengan manusia.

Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.(QS. Al-Ra’du 3)

Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.(QS. Az-Zumar 21)

Allahlah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur.(QS. Al-Jatziyah 12)

3. Diri manusia adalah sumber ke tiga. Manusia secara pisik maupun psikis supaya dijadikan bahan renungan dan pemikiran, agar dapat mengambil pelajaran yang berharga bagi penyempurnaan kehidupan.

Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?.(QS.Al-Thariq 5)

sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.(QS.al-Tin 4-6)

4. Sejarah umat manusia adalah sumber ke empat
Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri. (QS. Ar Rum 9)

Arah Perkembangan Ilmu Pengetahuan

            Menurut al-Qur’an, tujuan utama mengenal ilmu pengetahuan adalah memahami tanda-tanda Allah, menyaksikan kehadirannya diberbagai fenomena yang kita amati, sehingga menimbulkan kesadaran untuk mengagungkan dan bersyukur kepada Allah Sang Pencipta dan Pemelihara Alam semesta ini. Sebagaimana diisyaratkan dalam al-qur’an:
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fatir 28)

            Ilmu dan tehnologi bagaikan pedang bermata dua. Ia dapat digunakan untuk tujuan yang baik sekaligus tujuan yang jahat. Tehnologi muttahir memang telah memberi manfaat yang banyak bagi kehidupan ini, tetapi madharrat yang telah ditimbulkannya jauh lebih banyak lagi. Tehnologi nuklir telah banyak membantu memeberikan sumber energi, dan membantu dunia kedokteran untuk mendiagnose penyakit serta membunuh sel-sel kangker. Tetapi seperti telah diketahui bahwa 50.000 dari senjata nuklir yang ada di dunia ini mampu dan memiliki daya penghancur jutaan kali bom yang dijatuhkan di Nagasaki. Untuk itu maka kekuatan iman harus dimaksimalkan, supaya mampu memberikan arah yang benar terhadap pendaya gunaan ilmu dan tehnologi.

            Masa depan umat manusia sepenuhnya akan ditentukan oleh kolaborasi iman dan ilmu. Jika kolaborasi sinergis dapat berjalan dengan baik, maka masa depan yang menggembirakan akan terwujud. Sebaliknya jika tidak dapat bertemu dan bahkan ilmu dan tehnologi yang menang, maka masa depan dunia ini akan suram. Para ilmuwan dan agamawan supaya dapat duduk bersama memecahkan persoalan kemanusiaan dengan pikiran jernih. Para ilmuwan diharapkan bersikap rendah hati dan dapat menerima pesan-pesan agama. Begitu pula kaum agamawan harus membuka diri dengan temuan dan tawaran ilmu pengetahuan.

            Tehnologi memang hanya menawarkan jasa teknik untuk hidup lebih nyaman, tetapi secara social dampaknya akan sangat besar, karena dapat mengubah pola hidup beragama.. Teknologi telepon misalnya akan mengubah tatakrama silaturrahim, komputer mengubah cara belajar dan televisi akan mendominasi wacana dalam rumah tangga.  Sehingga tanpa di sadari tehnologi akan menjelma menjadi ideologi (agama) baru. Dengan begitu kehidupan ini akan sangat ditentukan oleh ilmu dan tehnologi, tetapi sekaligus akan dibayangi oleh proses pendangkalan terhadap penghayatan makna hidup, sebab manusia akan menjadi manja. pragmatis dan kurang peka terhadap dimensi spiritual.

            Sadar  akan kekurangan ini maka sekali lagi agama sudah semestinya tampil mendampingi IPTEK supaya dapat memberikan makna dan arah jalannya sejarah manusia kearah yang manusiawi, sesuai dengan harkat dan martabatnya yang fitri, yaitu makhluk yang dicipta secara material dan spiritual.

PERKEMBANGAN SAINTEK
DAN POSISI UMAT ISLAM


            Pada ahir tahun 1960-an, seorang penulis asal Perancis, J.Serven Schreiber (karena penasaran menyaksikan kekuatan ekonomi Amerika, yang diprediksi nantinya bukan hanya berhahaya bagi negeri itu, tetapi juga akan menjadi malapetaka bagi dunia) menulis sebuah buku “Tha American Challenge” , menyatakan sebagai berikut:
            “Kekuatan modern didasarkan atas kemampuan inovasi, yaitu riset dan kemampuan untuk mentrasformasikan penemuan-penemuannya ke dalam hasil jadi , yaitu tehnologi. Kekayaan yang kita cari tidak terletak pada bumi atau pada sejumlah manusia, ataupun pada mesin, tetapi pada semangat manusia, dan terutama pada kemampuan manusia untuk berpikir dan mencipta.”…….Semangat berpikir dan mencipta inilah yang telah menampilkan Amerika sebagai kekuatan ekonomi dan militer yang luar biasa. Hal ini perlu disadari , sebab konfrontasi peradaban  akan berlangsung di ranah teknologi, ilmu dan menejemen.”.

            Apa yang kita saksikan hari ini tentang kemajuan tehnologi, sebenarnya dapat dilacak akarnya, pada postulat Rent Discartes (1596-1650) , yaitu Cogito ergo sum.(saya berpikir, maka saya ada).[2] Inilah antara lain yang mendorong bangsa Barat , terutama Amerika untuk terus menerus mengembangkan riset bidang sain dan tehnologi. Sehingga hasilnya dapat kita saksikan dan rasakan bersama, baik yang positif ataupun yang negatif.

Revolusi Sain dan Tehnologi

            Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave menjelaskan tentang perubahan yang dialami manusia dari gelombang peradaban pertama , kedua, dan ketiga dengan menganalisis empat system yang saling berkaitan: techno-sphere, info-sphere,  sosio-sphere, dan psico-sphere. Keempat system lingkungan tersebut membentuk, mempengaruhi, dan menentukan dinamika masyarakat manusia. Menurut Alvin Toffler , sekarang ini kita sedang menyaksikan hancurnya gelombang ketiga, bahkan rotoknya gelombang keempat, dan sedang berada pada suatu kaadaan yang disebut revolusi tehnologi, revolusi informasi, revolusi social dan psikologis. Mengapa disebut revolusi, karena perubahan itu begitu cepat dibandingkan perubahan cultural yang dialami manusia selama ratusan tahun.

            Sebagaimana diketahui  bersama bahwa tehnologi itu ibarat pisau bermata dua. Ia memiliki nilai manfaat, tetapi madlarratnya lebih besar. Teknologi biotehnologi misalnya. Ia bermanfaat untuk menjadi pabrik kimia yang mengubah bakteri menjadi insulin, sehingga dapat digunakan sebagai oobat. Tetapi ia juga dapat dipergunakan untuk mengembangkan senjata biokimia yang sangat dahsat dan mencipta manusia. Tehnologi satelit dapat digunakan navigasi,  ramalan cuaca, memonetor sumber alam, menunjukkan masalah polusi, Tetapi pada saat yang sama ia dapat digunakan untuk kepentingan militer dan mata-mata, serta digunakan sebagai penghancur sesama satelit, sehingga ruang angkasa penuh dengan sampah radioaktif. Tehnologi pengubahan lingkungan dapat bermanfaat untuk pencegahan banjir dan penyedia air untuk daerah kering. Tetapi pada saat yang sama juga dapat digunakan untuk peperangan geofisik, seperti menimbulkan kebakaran hutan, penyimpangan ar sungai, gempa bumi, gelombang laut dan ledakan vulkanik.

            Revolusi tehnologi informasi dapat digunakan untuk memperpendek jarak dan melakukan efisiensi waktu, sehingga akan memudahkan hubungan perdagangan dan silaturrahim. Perkembangan tehnologi komputer misalnya dapat digunakan untuk menggantikan majalah dan Koran, bahkan dapat menggantikan ruang perpustakaan yang sangat luas dan ribuan buku. Demikian pula bermanfaat untuk proses pembelajaran, pendidkan agama dan sebagainya. Akan tetapi pada saat yang sama tehnologi informasi ini dapat juga digunakan untuk memalsukan dokumen- penting, mentranfer informasi palsu dan merusak nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Sehingga akan mengubah system nilai dan prilaku manusia.

            Akibat revolusi tehnologi dan informasi , maka akan lahir revolusi social. Revolusi tehnologi akan menempatkan negara-negara super power pada posisi yang menguntungkan, baik secara ekonomis, politis dan cultural. Sementara bangsa–bangsa berkembang akan menempatkan negara maju sebagai rujukan nilai. Di sinilah nilai-nilai Islam akan bertabrakan dengan nilai-nilai barat. Arus informasi yang berjalan “satu pihak” akan membanjiri wilayah umat Islam dengan nilai-nilai bawaan yang tidak relevan. Jika hal ini tidak dapat diselesaikan , maka akan terjadi benturan antar umat islam sendiri. Demikian juga tentang revolusi informasi akan membuat massa Islam menjadi sangat rapuh. Maka negara/bangsa yang Menguasai informasi akan  menjadi agen sosialisasi, pendidik, pengarah, pengubah tingkah laku. Sehingga peran orang tua dan guru akan berkurang bahkan bisa habis.

            Sebagai akibat lanjut dari revolusi social, maka akan mempengaruhi psikologi manusia. Secara kejiwaan manusia yang tidak mampu merespon dengan baik, akan terjadi keterasingan, baik terhadap lingkungannya atau bahkan kepada dirinya sendiri. Dalam hal ini manusia seringkali gagal memahami lingkungan dan dirinya sendiri. Sebagai akibat lanjut, maka mereka bisa gampang terjangkiti stress, atau melupakan Tuhan. Namun berbeda dengan pemikiran ini, mulai awal tahun 1980-an Marilyn Furguson melaporkan bahwa dikalangan para pemikir Barat telah muncul gerakan yang memandang sain dengan sikap skeptis. Everett Mendelson, seorang ahli biologi Harvard berkata:”Sain sebagaiman yang kita ketahui telah melewati masa gunanya”. Bahkan sebagian dari mereka telah mengajak kembali pada kepekaan agama. Theodore Raszak menulis bahwa obyektivitas ilmiyah, telah menurunkan pengalaman manusia dari tabiat alamiyahnya. Dan menghilangkan mistreri kesucian dari kehidupan. Akal hanyalah kemampuan manusian yang terbatas. Di samping akal masih ada lagi, yaitu spiritual knowledge. Pandangan baru ini lahir dari pengalaman yang menunjukkan bahwa kebutuhan manusia tidak mampu dipenuhi oleh sain dan tehnologi saja.
Posisi Umat Islam dan Apa yang harus dilakukan

            Dari sudut pandang goepolitik, umat islam sebenarnya cukup strategis untuk ambil bagian dalam berpartisipasi mengendalikan jalannya sejarah umat manusia ini untuk mencapai tujuan moral yang santun dan manusiawi. Hal ini bisa dilihat dari sisi jumlahnya yang telah mencapai satu milyard , yang terdiri dari berbagai ras , warisan kultur dan sejarah. Namun posisi yang cukup strategis ini belum mampu dimanfaatkan secara cerdas, karena kualitas dan kapabilitasnya masih belum mencapai harapan ideal sebagaimana diharapkan al-qur’an.

الذين إن مكناهم في الأرض أقاموا الصلاة وءاتوا الزكاة وأمروا بالمعروف ونهوا عن المنكر ولله عاقبة الأمور(41)الحج
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.
يؤمنون بالله واليوم الآخر ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويسارعون في الخيرات وأولئك من الصالحين(114) ال عمران

Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.

            Berdasar ayat al-Qur’an , Prof. Dr. Ismail Faruqi menyatakan bahwa manusia adalah karya Tuhan yang terbesar dan tercantik, maka tidak berkelebihan jika dinyatakan bahwa manusia adalah pencipta kedua setelah Tuhan. Karakter konseptual inilah yang menjadikan modal utama bagi manusia untuk Menguasai alam semesta ini. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang lebih tinggi di banding Malaikat, maka manusia dituntut memikul tanggung jawab moral bagi tegaknya suatu tatanan sosio-politik yang adil dan beradab(al-Ahzab: 72, al-Baqarah: 30-31).

إنا عرضنا الأمانة على السموات والأرض والجبال فأبين أن يحملنها وأشفقن منها وحملها الإنسان إنه كان ظلوما جهولا(72)الاحزاب
وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إني أعلم ما لا تعلمون(30)وعلم ءادم الأسماء كلها ثم عرضهم على الملائكة فقال أنبئوني بأسماء هؤلاء إن كنتم صادقين(31)البقرة
           
Jika memamang manusia merupakan karya Tuhan yang terbesar, maka resiko logisnya ialah bahwa ia bertang jawab untuk mencipta karya besar dan indah pula. Al-Qur’an menyatakan :” Maha Suci Tuhan Yang di tangannya tergenggam kekuasaan dan berkuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk memberi ujian kepadamu siapa yang paling baik kerjanya (al-Mulk : 1-2) Oleh karena itu pula Kaum beriman diminta oleh al-Qur’an supaya berdiri paling depan untuk mencipta karya-karya besar, tetapi perlu diingat bahwa bentuk kerja apapun memerlukan ilmu. Oleh sebab itu al-qur’an juga menegaskan bahwa yang berhak menempati posisi terhormat adalah mereka yang  beriman dan yang dianugrahi ilmu pengetahuan.(al-Mujadalah :11). Dalam al_Zumar ayat 9 ditegaskan bahwa tidak sama antara orang yang berimu dan yang tidak berilmu. Ayat ini dikomentari oleh Abdul Salam, Pemenang hadiah nobel bidang fisika, dengan kalimat: “ Inilah teguran al-Qur’an yang mendorong umat Islam supaya memiliki kesadaran ilmiyah”

            Dari penjelasan ini, maka baik secara normative dan geopolitik, sebenarnya umat Islam memiliki potensi yang cukup besar. Secara politis mereka jumlahnya cukup signifikan, dan secara dogmatic sangat mendukung pengembangan sain dan teknologi. Jika dunia sekarang dan masa depan adalah dunia yang dikuasai sain-teknologi, artinya siapa yang menguasai sain dan tehnologi pasti akan Menguasai dunia. Apabila sain dan tehnologi merupakan infrastruktur, maka keduanya akan menentukan suprastruktur dunia internasoinal, termasuk kebudayaan, moral, hukum dan bahkan agama. Oleh karena itu, jika kaum muslimin ingin memainkan peranannya dalam menentukan jalannya sejarah , maka ia harus Menguasai sain dan tehnologi. Memang tidak gampang tetapi peluang itu sangat mendukung.


Sampurnan, 30 Maret 2008

SISTEM PENGETAHUAN DALAM ISLAM


            Ilmu yang membicarakan hakikat pengetahuan, di sebut filsafat ilmu atau epistimologi. Secara umum filsafat ilmu ini membahas tentang apa ilmu itu, bagaimana cara mendapatkannya, dan untuk apa /apa kegunaan dan fungsi ilmu itu( dalam bahasa tehnis filosofis disebut dengan istilah: ontology, epistimologi dan aksiologi).
            Pemahaman terhadap filsafat ilmu ini penting, supaya dapat membedakan berbagai pengetahuan dan mengembangannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku, hususnya tentang pengetahuan ilmiyah(sain). Di kalangan kaum muslimin dikenal pembagian ilmu agama dan ilmu umum, sehingga ada istilah sekolah agama dan umum, padahal sumber pengetahuan itu adalah satu, yaitu Allah Sang pencipta dan Pemelihara alam semesta ini. Lalu bagiamana istilah itu muncul?, dan apakah seharusnya memaang ada pembedaan seperti itu?. Inilah salah satu pembahasan yang akan dikemukakan dalam makalah ini.

Epistimologi

            Dalam pembahasan filsafat, epistimologi merupakan sub system dari filsafat. Ilmu ini disamping membahas epistimologi, juga membahas tentang ontology dan aksiologi. Epistimologi ialah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari obyek yang dipikirkan. Sedangkan ontology berbicara mengenai teori tentang yang “ada”, yakni tentang apa yang dipikirkan (obyek yang menjadi pemikiran). Adapun aksiologi adalah teori tentang nilai dan manfaat obyek yang dipikirkan. Ketika pembahasan ini saling berhubungan dan terkait dengan erat, tanpa ketiganya, maka ilmu ini tidak akan terwujud.
            Lalu apa obyek dan tujuan epistimologi?. Dalam pengetahuan sehari-hari, istilah obyek dan tujuan ini seringkali agak kabur, sehingga pengertiannya agak membingungkan. Obyek sama dengan sasaran, sedangkan tujuan mirip dengan harapan. Namun meski berbeda, tetapi antara obyek dan tujuan saling berkaitan dan berkesinambungan. Artinya tujuan baru akan dicapai jika sasaran sudah dapat dilalui terlebih dahulu. Misalnya seorang  polisi akan menangkap penjahat yang sedang melawan dengan menembak kaki penjahat tersebut sebagai sasaran. Dalam hal ini tujuan polisi ialah menangkap penjahat, sedang obyeknya adalah kakinya. Jadi tujuan baru dapat tercapai jika obyeknya telah didapatkan. Contoh lainnya ialah “manusia”. Ia telah lama menjadi obyek penelitian dan pengamatan, tetapi tujuannya berbeda-beda; ada yang untuk membangun ilmu biologi, ilmu sosiologi, antropologi, ekonomi, pendidikan, psokologi dan sebagainya.
            Dalam filsafat terdapat obyek material dan obyek forma.  Secara garis besar obyeknya adalah hakikat segala yang ada, mulai dari Tuhan, alam semesta, manusia dan sebagainya. Sedangkan obyek formanya ialah usaha mencari keterangan yang mendalam (radikal) tentang obyek material. Misalnya obyek material ilmu biologi adalah manusia, sedang obyek formanya adalah persoalan-persoalan yang berhubungan dengan organ tubuh manusia.
            Selanjutnya apa tujuan epistimologi. Menurut Jecques Martyn, tujuan utama epistimologi bukanlan untuk menjawab pertanyaan apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu. Dari pertnyataan Martyn ini tujuan epistimologi bukan sekedar memperoleh pengetahuan (kendati hal ini tak bisa dihindari), tetapi tujuan utamanya adalah agar medapatkan potensi untuk memperoleh potensi mengetahui. Rumusan ini mendorong kesadaran seseorang, bahwa jangan sampai ia puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai cara dan bekal untuk memperoleh pengetahuan. Sebab kaadaan memperoleh itu bersifat pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan bersifat dinamis. Salah satu ilustrasinya ialah: Guru dapat mengajarkan bahwa 4 x 4 = 16, dan siswa mengetahuinya,bahkan hafal. Tetapi bagi guru yang baik, akan mengajarkan bagaimana prosesnya, sehingga ia benar-benar memahaminya. Jari proses menjadi tahu inilah yang menjadi tujuan utama epistimologi.

Kategori Pengetahuan

            Pengetau dalam artinya yang luas adalah mencakup segala yang kita ketahui mengenai suatu obyek tertentu. Pengetahuan merupakan teminologi yang mencakup segenap cabang pengetahuan yang kita miliki. Manusia mendapat pengetahuan berdasar kemampuannya selaku mahluk yang berpikir, merasa dan mengindra. Dari sisi cara mendapatkan,  pengetahuan dikategorikan menjadi menjadi pengetahuan logic, indrawi, intuitif dan wahyu. Sedangkan dari sisi kegunaannya dapat dikategorikan sebagai berikut:
a.       Pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk (etika)
b.      Pengetahuan tentang yang indah dan yang jelek (estetika)
c.       Pengetahuan tentang yang benar dan yang salah(logic)

Dari penjelasan di atas, secara garis besar pengetahuan itu dapat dibedakan. Sedangkan dalam martik yang terbentuk  dari dimensi kegunaan dan sumbernya, maka akan tercakup jenis pengetahuan yang bayak sekali. Maka masalah yang kita hadapi sekarang adalah bagaimana caranya kita menbedakan jenis-jenis pengetahuan tersebut.
Untuk maksud tersebut, maka digunakan tiga cirri pembeda pengetahuan, yaitu ontology (apa), epistimologi(bagaimana) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut diketahui, disusun dan dimanfaatkan. Apapun ilmunya termasuk ilmu agama selalu dapat dicirikan melui ketiga criteria pembeda tersebut.
Jika ada seseorang ingin mengetahui apakah jika biji melon ditanam akan berbuah melon?. Maka ditanamlah biji melon, kemudian ditunggu beberapa bulan. Ahirnya benar bahwa biji melon itu berbuah melon. Orang juga ingin tahu apakah madu lebihmanis dari gula kelapa. Maka ia cicipi, bahkan dimakan. Ahirnya tahulah dia bahwa madu lebih manis dari gula kelapa. Inilah jenis pengetahuan indrawi
Apa yang tersimpan dalam pengetahuan indrawi itu?. Biji melon ditanam akan berbuah melon, dan madu lebih manis dari gula kelapa. Mengapa begitu. Sebenarnya kaadaan ini memiliki logika yang dapat menjelaskan proses dan sistemnya, misalnya mengapa jika ditanam di tranah subur akan berbuah lebih besar, dan jika ditanam di tanah tandus buahnya kecil?. Logikanya antara lain bahwa tanah subur akan memberi cukup  bahan untuk mendorong pertumbuhan dan penggemukan, sehingga akan tumuh buah yang besar, sedangkan tanah kering tidak mampu berproses aeperti itu. Jadi logis demikian. Jika pengetahuan yang pertama dan kedua ini kita gabung jadi satu, maka inilah yang disebut “pengetahuan sain”. Atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai pengetahuan ilmiyah.
Dalam bentuknya yang baku , pengetahuan ilmiyah memiliki paradigma (scientific paradigm) dan metode tertentu (yang disebut scientific method). Paradigma dan metode ilmiyah ini diturunkan dari filsafat positivisme; yaitu cara pandang dan metode yang mengandalkan logika dan bukti empiris. Metode ini menyatakan bahwa yhang benar adalah sesuatu yang logis dan memiliki bukti empiris. Jadi misalnya ada orang berpendapat bahwa jika terjadi gerhana , maka pukullah kentongan,.gerhana itu akan hilang. Hal ini bisa dibutikan sebara empiris, tetapi tidak logis, sebab di lain waktu jika ada gerhana lagi, dan kentongan tidak dipukul, maka gerhana itu akan selesai dengan sendirinya. Pengetahuan yang demikian tidak dapat dimanakan sain/pengetahuan ilmiyah. Metode sain dikembangkan secara luar  biasa dalam bentuk metode riset , sebagaimana di pelajari mahasiswa dalam mata kuliah metodologi riset/penelitian.
Dalam istilah akademis, kebenaran sain/pengetahuan ilmiyah ini, diukur melalui teori koherensi, kerespondensi dan pragmatisme. Kohenrensi merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada keriteria tentang konsistensi dan argumentasi. Jadi jika ada konsistensi dalam alur berpikir, maka kesimpulan yang titariknya adalah benar. Sedangkan korespondensi adalah teori kebenaran yang mendasarkan pada kesesuaian antara materi yang dikandung suatu pernyataan dengan obyek yang dikenai pernyataan. Jadi jika ada pernyataan bahwa gula itu manis, maka kenyataannya juka membuktikan demikian. Adapun pragmatisme adalah teori kebenaran yang mendasarkan pada keriteria tentang berfungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam ruang lingkup waktu tertentu. Jadi jika suatu teori ilmiyah secara fungsional mampu menjelaskan , meramalkan, dan mengontrol gejala alam tertentu, maka secara progmatis teori itu dinyatakan benar. Sebaliknya jika dalam saru kurun waktu tertentu , lahir teori baru yang lebih berfungsi, maka kebanarannya dialihkan pada teori baru tersebut. Inilah alasannya mengapa sain dan tehnologi (sebagai bagian dari hasil sain) dinyatakan memiliki kebenaran yang relatif-pragmatis (tidak mutlak), karena itu tidak boleh  dijadikan sebagai pandangan hidup.
Kita kembali pada tanaman melon, Seseorang bertanya, mengapa melon selalu berbuah melon, dan tidak pernak dijumpai melon berbuah bakso.?. Untuk menjawab persoalan ini , kita tidak bisa melakukan penelitian empiris, sebab obyek yang diteliti tidak nampak pada biji atau pohon melon. Lalu bagaimana cara mengetahuinya. Ialah dengan berpikir dan berpikir. Yang dipikirkan bukan melon dalam bentuknya yang bisa diindra, tetapi yang abstrak. Maka ditemikan jawaban bahwa melon selalu berbuah meloh karena ada hukum yang mengatur mekanismenya. Hukum itu tidak empiris tetapi diyakini legika kebanarannya. Inilah pengetahuan yang disebut dengan pengetahuan filsafat. Cara kerjanya disebut paradigma logis (logical paradigm). Metodenya disebut metode rasional .
Pengetahuan filsafat ini, masih bisa dikembangkan lagi; Siapa yang menciptakan huku-hukum pada melon. Jawabnya tentu Dia amat cerdas. Hal ini masil dalam lingkup pengetahuan filsafat. Sebagian orang meyakini bahwa yang amat cerdas itu adalah Tuhan .   Lalu siapa Tuhan itu?. Menurut Imanual Kant, manusia tidak mampu memahami Tiuhan hanya dengan akalnya (akal murni)saja. Manusia dapat mengenal Tuhan dengan akal praktisnya (Hati menurut istilah Kant). Dalam Islam hati disebut Kalbu, dzauq, dhamir. Inilah jenis pengetahuan mistis, yaitu segala pengetahuan yang diperoleh melalui hati; yakni dengan cara melatuhnya secara intensif supaya memiliki kepekaan untuk merasakan dan menangkap pengetahuan yang tidak dapat ditangkap oleh akal pikiran. Pengetahuan ini objeknya diluar logika manusia. Karena itu disebut supralogis, suprarasional.

Jenis-Jenis pengetahuan di atas dapat dipetakan dalam matrik berikut:


PENGETAHUAN MANUSIA
MACAM PENGTAHUAN MANUSIA

OBYEK

PARADIGMA

METODE

KRITERIA
Pengetahuan Indrawi
Empiris
Empiris
Empirik
Sensual
Pengetahuan Sain/ilmiyah
Empiris
Sain/ilmiyah
Sain/ilmiyah
Logis-empiris
Pengetahuan Filsafat
Abstak-logis
Logis
Logis
logis
Pengetahuan mistis
Abstrak-supralogis
Mistik
Mistik
Keyakinan dan rasa

Catatan : Dari pembidangan ilmu di atas, masih ada yang belum tergambar dalam matrik, yaitu pengetahuan seni (estetika) dan pengetahuan etik (baik dan buruk). Dalam satu sisi ia masuk pada kelompok ke empat, atau bisa masuk pada semua kategori.

            Selanjutnya, dimana posisi pengetahuan agama?. Jika agama adalah wahyu dari Allah, maka al-Qur’an (karena kebenaranmnya diterima melalui keimanan) termasuk pengetahuan yang ada pada kategori ke empat (mistis). Tetapi dalam kenyataannya, isi al-Qur’an itu bisa dipahami secara scientific/ilmiyah, dan ada yang dapat dipahami secara falsafi, dan sebagian besar dipahami secara mistis. Melalui kacamata yang terahir ini , maka pengetahuan agama merupakan pengetahuan yang luas, bukan hanya mencakup persoalan keyakinan saja, tetapi mencakup yang lain, termasuk masalah-masalah kemasyarakatan, selama sumber dan pijakannya adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
            Menurut al-Qur’an surat al-Baqarah 32

قالوا سبحانك لا علم لنا إلا ما علمتنا إنك أنت العليم الحكيم(32)
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

            Ayat di atas jelas menyatakan bahwa semua ilmu itu sumbernya dari Allah Rabbul Alamin. Sebagian ilmu itu diwahyukan dan lainnya diusahakan manusia melalui perangkat yang dimilikinya, seperti indra, akal, rasa /intuisi, hati. Pengetahuan yang diwahyukan bernilai absolut/mutlaq. Sedang pengetahuan yang diusahakan bernilai relatif.
            Dalam kenyataan sejarah umat Islam,  kedua macam pengetahuan itu selalu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan islam. (Ibnu Haldum menyebut dengan pengetahuan naqliyah dan pengetahuan akliyah.) tetapi sekarang ini ketika rasionalisme dianggap merupakan pengetahuan yang unggul (akibat pengaruh skularisme keilmuan Barat) , maka keterpaduan antara iman dan pemikiran mengalami ketergangguan. Akibatnya antara pengetahuan yang diwahyukan dengan pengetahuan yang diusahakan manusia juga terganggu, sehingga muncul pandangan skuler. Oleh karena itu, sudah saatnya dilakukan integrasi kembali dengan membangun filsafat pengetahuan dalam Islam. Jadi pada dasarnya pengetahuan dalam Islam itu satu. Kemudian untuk kepentingan pendidikan dan pembelajaran, pengetahuan itu dibedakan kedalam pengetahuan yang diwahyukan dan pengetahuan yang diusahakan (al-Muktasabah)



PROFIL INTELEKTUAL MUSLIM

يؤتي الحكمة من يشاء ومن يؤت الحكمة فقد أوتي خيرا كثيرا وما يذكر إلا أولو الألباب(269)البقرة
Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).

            Ayat ini mengisyaratkan bahwa orang-orang yang mendapatkan hikmah (kebijaksanaan dari Allah) merupakan kelompok yang memperoleh bebaikan yang amat banyak. Kelompok inilah yang mampu mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa dan fenomena yang terjadi. Dalam istilah al-Qur’an kelompok ini disebut dengan “Ulul al-bab”. Inilah gelar bagi mereka yang senantiasa memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengambil pelajaran dan petunjuk. Hal ini ditegaskan dalam surat Ali Imran :7 dan Surat Yusuf 111.
           
Dalam ungkapan sehara-hari, dikenal istilah “sarjana, ilmuan dan intelektual”. Tiga kata ini sering digunakan secara bergantian, tetapi jika dikaji makna dan substansinya memiliki perbedaan yang cukup berarti. Sarjana adalah orang yang lulus dari perguruan tinggi dengan membawa gelar. Kelompok ini sangat banyak, apalagi sekarang ini ratusan perguruan tinggi selalu memproduksi ribuan sarjana pada tiap tahun. Sedangkan ilmuan adalah orang yang mendalami ilmu dan mengembangkannya melalui penelitian atau pengamatan dan menganalisanya.  Di antara para sarjana hanya sedikit saja yang berkembang menjadi ilmuan, sebab sebagian banyak di antaranya tenggelam kedalam kegiatan rutin sebagai pekerja professional.

            Adapun kelompok intelektual, adalah bukan sekedar sarjana, dan bukan pula hanya sebagai ilmuan yang mendalami dan mengembangkan ilmunya, tetapi mereka yang memiliki ilmu dan merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, dan merumuskan dengan bahasa yang mudah mereka pahami, kemudian menawarkan alternatif pemecahannya. James Mac Gregore dalam buku Intellectual Leadership menyatakan kaum intelektual adalah mereka yang terlibat secara keritis dengan nilai, tujuan dan cita-cita yang mengatasi kebutuhan praktis. Jadi intelektual adalah orang yang mencoba membentuk lingkungannya dengan menafsirkan pengalaman masa lalu masyarakat, mendidik dan membimbing mereka sehingga mampu memperbaiki kaadaan mereka.

Ciri-Ciri Intelektual Muslim

            Dengan mengacu pada statemen ayat di atas, maka intelektual muslim adalah seorang yang disebut sebagai Ululalbab. Ia bukan hanya sebagai seorang yang memahami sejarah bangsanya dan sanggup melahirkan gagasan-gagasan analitis yang cemerlang, melainkan juga Menguasai sejarah Islam. Bagaimana tanda dan ciri-cirinya:

1.      Bersungguh-sungguh mencari ilmu, sebagaimana ditegaskan dalam Ali Imran :7
والراسخون في العلم يقولون ءامنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولو الألباب
 Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Abd. Salam , seorang muslim pemegang hadiah nobel bidang fisika mengatakan:”Al-Quran mengajarkan dua hal kepada kita, yaitu tafakkur dan tasyakkur. Tafakkur ialah merenungkan ciptaan Allah kemudian menangkap huku-hukumnya, sehingga dapat digunakan memahami sunnatullah di alam semesta ini(menghasiklkan science). Sedangkan tasyakkur adalah memanfaatkan nikmat Allah, sehingga kenikmatan itu semakin bertambah (berupa tehnologi). Ululalbab adalah mereka yang merenungkan ciptaan Allah dan berusaha mengembangkannya, sehingga karunia itu dilipatgandakan.

2.      Mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian ia pilih yang baik, walaupun sendirian, sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Maidah: 100
قل لا يستوي الخبيث والطيب ولو أعجبك كثرة الخبيث فاتقوا الله ياأولي الألباب لعلكم تفلحون
Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.

3.      Kritis dalam menagkap pembicaraan, pandai menimbang ucapan, teori atau dalil yang dikemukakan orang lain, sebagaimana ditegaskan dalam surat Az-Zumar 18
الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه أولئك الذين هداهم الله وأولئك هم أولو الألباب
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.

4.      Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain, untuk memperbaiki masyarakatnya, bersedia memberi peringatan demi tegaknya kebenaran dan keadilan dalam masyarakat yang bersangkutan. Artinya ia tidak hanya berpangku tangan atau hanya berada dalam perpustakaan dan laboratorium saja, tetapi peduli terhadap nasib masyarakatnya.sebagaimana ditegaskan dalam surat Ibrahim 52
هذا بلاغ للناس ولينذروا به وليعلموا أنما هو إله واحد وليذكر أولو الألباب
(Al Qur'an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.

5.      Bertaqwa kepada Allah sebagaimana isyarat dalam surat al-Baqarah 197
وتزودوا فإن خير الزاد التقوى واتقون ياأولي الألباب
 Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.

Dari keterangan ini, maka intelektual muslim (ulul Albab) bukan hanya memiliki ilmu mendalam dan peduli terhadap masyarakatnya saja, tetapi ia pun bertaqwa kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imran 190-191
إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب(190)الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.


Konstruksi Keislaman Kita

Dari ayat-ayat terbut, bahkan masih banyak lagi, dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sangat apresiatif terhadap ilmu pengetahuan. Banyak sekali teks al-Qur’an dan Hadits Nabi yang dipenuhi dengan pengakuan dan arahan kepada kreatifitas berpikir. Dorongan dan inspirasi ini telah pernah direspon positif oleh kaum muslimim pada abad-abad awal, sehingga mereka mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang kecemeelangannya telah mendapatkan pengakuan dunia. Namun dalam perkembangan selanjutnya gairah keilmuan ini mengalami kemadekan. Mengapa demikian ?

Salah satu sebabnya adalah keterjebakan moral dan ritual yang tidak seimbang. Karena itu segala ilmu dalam Islam bermuara pada pemeliharaan moral dan ritual husus(ibadah mahdhah). Ilmu psikologi, misalnya selalu dikaitkan dengan penyakit hati, tujuannya ialah agar tidak menghalangi dalam berhubungan dengan Allah. Ilmu Tauhid, Fikih dan sebagainya juga demikian, yaitu mengarah pada pembentukan kesalehan individual (bukan kesalihan social). Sementara kajian yang mengarah pada pembentukan epistimologi keilmuan tersampingkan. Suatu ilmu baru dianggap penting jika terkait langsung dengan pembentukan kesalihan individual. Fikih tentang zakat misalnya, yang menjadi pembahasan intens adalah berkaitan dengan dimensi vertikalnya, sementara dimensi horisontalnya kurang diminati. Karena itu ajaran zakat hingga kini belum mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan.

Fokus keilmuan yang hanya ditujukan kepada kebutuhan ritual (ibadah mahdhah) ini sudah sedemikian jauh, sehingga melupakan dimensi kemanusiaannya. Contohnya adalah ilmu falak dan tehnologi kompas. Puncak kegunaannya hanya sampai pada penentuan kiblat dan menetukan datangnya puasa/hari-raya. Sekedar perbandingan. Ketika kedua ilmu itu jatuh ke tangan bangsa eropa modern, maka imajinasi mereka langsung tertuju pada hal-hal yang bersifat kekinian. Karena itu dengan thnologi kompas, mereka melakukan petualangan yang nekat mengarungi lautan yang luas, dan ahirnya menjadi penjajah di dunia Timur. Dengan tehnologi falak mereka terdorong untuk melakukan penelitian ruang angkasa.

Dari perbandingan ini muncul pertanyaan, mengapa di Barat ilmu berkembang sedemikian pesat, sedang di Kalangan kaum muslimin tidak. Hal ini antara lain karena pihak gereja tidak ikut campur dengan pengembangan ilmu (akibat troumatik masa lalu, yang terlalu bersebrangan dengan teori ilmu pengetahuan), sehingga terjadi kekosongan kensep agama terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Atas kaadaan ini maka kebebasan berpikir menjadi sedemikian tinggi tampa intervensi agama sama sekali. Dalam perspktif ini islam bisa di pandang lebih unggul dan komplit di banding aga lain(sebab agama tetap memberikan dorongan dalam pengembanga keilmuan), akan tetapi penempatan porsi ritual husus yang berlebihan sebagai bagian dari pengembangan keilmuan terasa agak kaku.sehingga ruang berekpresi dan inovasi ilmu terasa kurang leluasa. Ilmu-ilmu di luar ilmu keagamaan, dianggap sebagai pelengkap dan skunder, karena itu kurang memperoleh perhatian semestinya.

Akibat dari cara perpikir demikian, maka kaum muslimin saat ini hanya bertahan sebagai konsumen ilmu, bukan produk. Maka yang muncul kepermukaan bukan etos bagaimana mendapatkan ilmu, tetapi menyibukkan diri untuk mencari bagaimana hukum memepelajari ilmu, titik. Sampai kapan kaadaan ini berlangsung, akan sangat tergantung pada kesadaran cara berpikir kita. Kecenderungan vertical, dimana segala aktivitas baru dinilai bermakna, jika ditujukan untuk kepentingan ibadah, tentu tidak salah, tetapi harus segera diikuti gerakan kesamping yang bersifat horizontal, yaitu mengembangkan ilmu untuk kepentingan kemanusiaan. Karena itu konsepsi kita tetang dunia harus diperbaharui. Artikulasi dan ekspresi keislaman yang didasarkan pada teks, harus bermuara pada konteks kemanusiaan, yaitu untuk membangun dan mencari solusi bagi pemecahan masalah kemasyarakatan. Kita tidak ingin mengubah Islam, tetapi mengubah konstruksi pemahaman kita tentang Islam. Amanat keislaman sejatinya adalah amanat kehidupan, dan amanat kehidupan itu artinya amanat kemanusiaan. Amanat kemanusiaan dijabarkan dengan mengembangkan aktivitas intelektual dan keilmuan dalam rangka menyelenggarakan sarana-sarana kemasyarakatan. Dengan begitu maka jargon “Islam Rahmatan Lil Alamin” benar-benar nyata. Dan bukan hanya selogan.


Sampurnan, April 2008

                                                                                                                                               




TANGGUNG JAWAB
INTELEKTUAL MUSLIM

Sebagaimana dijelaskan pada pertemuan yang lalu, bahwa seseorang baru disebut sebagai intelektual atau cendikiawan, jika telah menyandang ciri: 1) bersunggu-sungguh dalam menggali dan mengembangkan pengetahuan; 2) memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih antara hal-hal yang baik dan yang jelek; 3) memiliki kepedulian terhadap perbaikan  lingkungan sekitarnya; 4) kritis dalam menangkap pernyataan dan teori, sehingga mampu menempatkannya secara proporsional dan kentektual; 5) bertaqwa kepada Allah.
Dalam konteks ini , al-qur’an mengistilahkan dengan ungkapan ulul albab, yaitu menyatunya kapasitas Abdullah dan khalifatullah dalam satu pribadi. Atau dalam istilah K.H.A.Musthafa Bishri sebagai seorang yang shalih secara ritual dan secara sosial sekaligus. Sebagai Abdullah(hamba Allah) ia senantiasa meningkatkan kualitas hubungan vertikalnya dengan Allah, dan sebagai khalifah Allah, ia senantiasa meningkatkan kualitas hubungan horizonnya bersama makhluk Allah. Dalam istilah yang lain kualits keimanan subyektif dan simboliknya selalu bergaris lurus dengan kualitas keimanan obyektifnya. Dengan demikian maka seorang intelektual adalah seorang yang beriman kepada Allah, Tuhan yang Maha Kuasa, dan telah dapat mengimplementasikan keyakinannya itu sebagai rahmatan lil alamin; kemampuan ilmiyahnya/akademiknya telah dimanfaatkan sedemikian rupa, sehingga menghasilkan nilai guna dan manfaat bagi perbaikan kualitas kehidupan manusia.
          Kata “ilmu” adalah satu akar dengan kata “ulama’” dan kata “alam”. Mungkin atas dasar ini al-Qur’an mengisyaratkan bahwa ulama adalah mereka yang Menguasai ilmu “alam” kemudian dari pengetahuannya itu ia menyadari betapa besar kekuasaan Allah di semesta ini, sehingga ia begitu takut kepadaNya dan tidak ingin menyalahi perintah dan laranganNya. Dalam surat Fatir 28 disebutkan:
ومن الناس والدواب والأنعام مختلف ألوانه كذلك إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور(28)فاطر
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.

Dalam ungkapan lain, diisyaratkan bahwa kata ilmu dan ulama dikaitkan dengan pemahaman dan kekaguman seseorang terhadap keunikan dan keteraturan alam dengan hukum-hukumnya, sehingga dengan melakukan perenungan (tafakkur) terhadap alam semesta ini, seseorang tergerak pikiran dan hatinya untuk bertasbih mensucikan ALLAH, Tuhan sang pengciptanya.

Tantangan Kaum Intelektual Muslim

            I. Salah satu keunggulan ajaran Islam adalah kemampuannya untuk mengintegrasikan aspek filsafat yang mengandalkan penalaran, tasawwuf yang berpusat pada hati, dan tindakan praktis berupa amal yang kongkrit. Semua ini terlihat dengan jelas dalam al-Qur’an dan perilaku Rasulullah. Jika kita buka al-Qur’an akan ditemukan banyak sekali ayat-ayat yang menggunakan pendekatan dialogis, dan menampilkan cerita-cerita metaforis sebagai bahan renungan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa nalar kritis dan pendekatan kontemplatif sangat ditekankan oleh al-Qur’an. Bahkan dari sekian kitab suci yang ada, hanya al-Qur’an yang pewahyuannya dimulai dengan ajakan berpikir dan berefleksi tentang  alam dan kehidupan.
            Ketika dunia Islam mengalami kejayaan, seruan dan kesempatan mengembangkan nalar kritis ini telah direspon secara proporsional oleh para sarjana Muslim, bahkan para penguasa dan institusi negara pada saat ini ikut mendorong dan memberikan fasilitas yang cukup. Dunia Islam saat itu sangat kaya dengan sumber daya alam dan intelektual. Akan tetapi sangat disayangkan, tradisi ini tidak mampu melahirkan institusi yang kuat dan professional, karena terseret oleh arus pertikaian politik dan kekuasaan yang berkepanjangan. Kondisi semacam ini , sampai kini sebenarnya masih kita rasakan, bahkan tantangan ini (sekarang) justru semakin berat karena ada faktor kekuatan luar, seperti membanjirnya peradaban Barat skuler ke dalam dunia Islam. Ketika masyarakat merasa lelah (dalam menghadapi tantangan), maka dunia tasawwuf menjadi salah satu pilihan yang menarik, karena menawarkan keberagamaan yang sejuk dan mampu menghadirkan bayangan surga yang begitu dekat.
            Tasawwuf sebagai bagian dari  ajaran Islam, sebenarnya mengandung nilai yang mulya dan memiliki dasar pemikiran filsafat yang tinggi. Akan tetapi kegiatan tasawwuf yang diikuti masyarakat, bukan pada proses dan dimensi intelektual dan filosofinya yang diserap, melainkan dimensi “uzlahnya”, yaitu lari dari tantangan social  yang dihadapinya dengan hanya memperbanyak dzikir. Akibatnya, maka etos pengembangan keilmuan dan filsafat menjadi sangat rendah, dan sebagai konsekuensi logisnya, maka pengembangan riset-pun mengalami kemacetan.
            Dalam ajaran Islam, sikap percaya(iman) selalu dikaitkan dengan sikap kritis. Oleh karena itu iman sebenarnya merupakan produk nalar dan hati yang diterangi wahyu. Jadi dalam tradisi Islam, filsafat justru memberikan dukungan kritis terhadap Iman. Keduanya memberikan jalan menuju Tuhan, dan jalan untuk menbangun peradaban. Bahkan hanpir semua peradaban yang agung selalu dimotivasi oleh kepercayaan agama dan semangat melayani umat manusia. Dalam konteks ini , maka kalangan intelektual diharapkan mampu mempelopori terjadinya intergrasi antara filsafat, tasawwuf dan amal. Dalam bahasa lain integrasi antara ajaran Iman, Islam dan Ihsan.
            II. Menurut al-Qur’an, agama (islam) itu bagaikan cahaya yang melenyapkan kegelapan dan menunjukkan jalan yang terang. Atau bagaikan limpahan air , sehingga memberikan kesejukan dan kehidupan yang berarti. Tetapi dalam praktiknya, kadangkala faham kagamaan terasa amat sempit, sehingga mendorong perselisihan. Maka paham yang demikian ini tentu tidak tepat.
Bangsa Indonesia didomonasi oleh mayoritas umat beragama Islam. Secara teori kaadaan ini tentu berpengaruh positif terhadap kehidupan mereka, sebab ada pengaruh dan bimbingan agama, sehingga mereka lebih baik, lebih maju dan lebih beradab.  Tapi benarkah demikian ?. Pertanyaannya, seberapa jauh pengaruh Islam dalam meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia?. Pertanyaan ini sungguh tidak sederhana dan tidak gampang dijawab. Dalam suatu penelitian ditemukan kesimpulan bahwa mereka secara emosional masih menghargai agama, walaupun tidak selalu loyal terhadap pesan-pesan agama.
Salah satu tawaran supaya agama (Islam) dapat lebih mencerahkan, maka pendekatan filsafat perlu dikembangkan. Hal ini didasarkan pada perintah al-Qur’an yang selalu menganjurkan supaya kaum muslimin senantiasa mau membaca dan berfikir, termasuk terhadap kepercayaan dan keimanan mereka. Namun sayangnya, tradisi berfikir filosofis ini kurang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Mereka telah merasa cukup
dengan tradisi yang ada, dan disebabkan oleh kecenderungan budaya yang lebih suka “nglakoni”, tanpa disertai penalaran kritis. Oleh karena itu mereka lebih sering berbicara tentang “rasa” daripada berbicara kritis argumentative. (sementara orang Barat banyak menulis buku filsafat, tetapi tidak intens menjalani  hidup kontemplativ dan religius). Salah satu sebab mengapa metodologi pemikiran kritis tidak berkembang dengan baik di Indonesia adalah karena adanya pandangan bahwa rukum Islam yang lima merupakan puncak dan saripati ajaran Islam. Dengan pandangan ini, maka puncak keberagamaan seseorang akan diukur sejauh mana kemampuan mereka memenuhi lima rukum itu. Jika mereka telah mampu memenuhinya, maka buat apa belajar filsafat/tasawwuf  dan penalaran kritis. Yang penting sudah “ngelakoni” lima rukun yang menjadi kuwajiban utama. Jadi dengan mempercayai itu semua, seseorang telah merasa cukup sebagai seorang muslim yang baik. Dalam konteks ini para intelektual muslim harus bertangggung jawab untuk memberikan bimbingan dan penyadaran bahwa  beragama yang baik bukan sekedar “ngelakoni”, tetapi harus dibarengi dengan pemahaman yang benar tentang substansi rukun Islam itu bagi kehidupan baik secara individual maupun kolektif.
            Ada dua hal yang perlu ditekankan dalam proses penyadaran dimaksud; yaitu keseriusan dan kepemimpinan. Persoalan kita adalah ketidak seriusan, termasuk dalam hal meniru . Jepang pada mulanya banyak meniru Barat dengan serius. Demikian pula Korea, sehingga dalam waktu relatif cepat mereka telah mampu mencipta. Sedang kita, masih penuh tanda tanya. Para elit kita lebih serius berebut kekayaan untuk kepentingan pribadi dan bertengkar memperebutkan kursi, dibanding berpikir  bagaimana memajukan rakyatnya. Tantanga kedepan dapat kita mulai dengan mengubah paradigma beragama dan berbangsa. Pandangan kebegamaan kita perlu direkonstruksi ulang. Misalnya dari kesehan ritual harus bergerah ke kasalihan social, kemudian dilanjutkan pada pembangunan SDM dan pembangunan institusi. Zakat misalnya harus memiliki institusi yang kuat, seingga pemberantasan kemiskinan dapat diselesaikan , sesuai keinginan ajaran Islam. Contoh lainnya misalnya kegiatan dakwah. Dalam konteks ini problem kita bukanlah kekurangan muballigh. Mereka telah melakukan dahwa di mana-mana, tetapi hasilnya tettap saja tidak memadai. Umat islam masih menderita dan terpinggirkan. Problem kita dalam hal ini adalah kepemimpinan dan menejemen yang mampu menggalang dana dan menciptakan institusi pemberdayaan masyarakat.
            Di bawah ini dikemukakan pernyataan al-Qur’an , bahwa orang-orang yang secara tulus mau bekerja sebagai pembimbing dan pengembangan masyarakat akan mendapatkan jaminan kepuasan dan kebahagiaan sejati.
الذين يتبعون الرسول النبي الأمي الذي يجدونه مكتوبا عندهم في التوراة والإنجيل يأمرهم بالمعروف وينهاهم عن المنكر ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث ويضع عنهم إصرهم والأغلال التي كانت عليهم فالذين ءامنوا به وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي أنزل معه أولئك هم المفلحون
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.(al_A’raf:157)

Sampurnan, April 2008

Ahlus Sunnah wal Jama‘ah
 

Ahlussunnah Wal Jama’ah Menurut Syekh Abu al-Fadl ibn Syekh ‘Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanya “al-Kawâkib al-Lammâ‘ah fî Tahqîq al-Musammâ bi Ahli al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah” (kitab ini telah disahkan oleh Muktamar NU ke XXlll di Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jama’ah sebagai: kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh), dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh ‘Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. (meliputi ucapan, prilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jama’ah adalah segala sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi saw. pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah.”
Secara historis, para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi saw. sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah ‘Ali bin Abi Thalib ra., karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wa‘d wa al-Wa‘îd dan pendapat Qadariyah tentang kehendak Allah dan daya manusia. Di masa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz dengan karyanya “Risâlah Bâlighah fî Raddi ‘alâ al-Qadariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang paham-paham di luar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqh al-Akbar”, Imam Syafii dengan kitabnya “Fi Tashîh al-Nubuwwah wa al-Radd ‘alâ al-Barâhimah”. Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260 H – 324 H), lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi saw. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Asy’ari, tetapi beliau adalah salah satu di antara imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah mazhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Bisthomi, Imam al-Junaydi, dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah.
Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil tentang paham Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat dari kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantif. Di antara teks-teks Hadits Aswaja adalah:
افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَ سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إلَّا وَاحِدَةً. قَالُوا: مَنْ هم يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدوَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ
Dari Abi Hurayrah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu.” Berkata para sahabat, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?”  Rasulullah saw. Menjawab, “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.” (HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah).
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti yang tertera dalam teks Hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi saw. dan petunjuk para sahabatnya.

Ruang Lingkup Aswaja
Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek akidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial di antara tiga aspek di atas adalah aspek akidah. Aspek ini krusial, karena pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika Imam al-Asy’ari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagai koreksi atas pemikiran teologi Mu’tazilah dalam beberapa hal yang dianggap bid’ah atau menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asy’ari.
Ditempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asy’ariyah, sehingga dua imam inilah yang kemudian diakui sebagai imam penyelamat akidah keimanan, karena karya pemikiran dua imam ini tersiar ke seluruh belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi saw. serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham, yaitu Imam al-Thahawi (238 H – 321 H) di Mesir. Akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama menjadikan rumusan akidah Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.
Secara materiil banyak produk pemikiran Mu’tazilah yang, karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdîm al-‘Aql ‘alâ al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bid’ah, maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum terinstitusikan dalam bentuk mazhab. Karena itu, secara historis term aswaja baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini. Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib ra., tetapi dari segi fisik dalam bentuk mazhab baru terbentuk pada masa al-Asy’ari, al-Maturidi, dan al-Thahawi.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah, dalam fiqh adalah mazhab empat, dan dalam tasawuf adalah al-Ghazali dan ulama-ulama yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.
Ruang lingkup yang kedua adalah syari’ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah swt., dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Dalam konteks historis, ruang lingkup yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat madzhab di atas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain juga tercakup dalam lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdîm al-Nash ‘alâ al-‘Aql (mengedepankan daripada akal).
Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthami, dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkup ketiga ini dalam diskursus Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang Islam menggambarkan syari’ah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain. Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Kalau manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar tanpa pohon, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang lingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang ketiga, sehingga keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan kamil.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara prinsipil di antara kelompok dan mazhab dalam Islam. Pertama, dalam hal sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama meyakini al-Qur’an dan al-sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam; Kedua, para ulama dari masing-masing kelompok tidak ada yang berbeda pendapat mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan Allah swt., kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi, mereka berbeda dalam beberapa hal di luar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda di dalam manhaj bepikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks sunnah. Masing masing firqah dalam pemikiran Islam, memiliki manhaj sendiri-sendiri.
Mu’tazilah disebut kelompok liberal dalam Islam. Keliberalan Mu’tazilah, berpangkal dari paham bahwa akal, sebagai anugerah Allah swt., memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Allah swt. dan hal-hal yang dianggap baik dan buruk. Sementara bagi kelompok Asy’ariyah, akal tidak sanggup untuk mengetahui hal tersebut, kecuali ada petunjuk dari naql atau nash. Kelompok Maturidiyah sedikit lebih ‘menengah’ dengan pernyataanya, bahwa perbuatan manusia mengandung efek yang disebut baik atau buruk, apa yang dinyatakan oleh akal baik, tentu ia adalah baik, dan sebaliknya, akan tetapi tidak semua perbuatan manusia pasti sesuai dengan jangkauan akal untuk menilai baik dan buruknya. Dalam keadaan seperti ini, maka baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui naql atau nash.
Jika manhaj-manhaj ini dihubungkan dengan akidah, maka peran akal dan naql berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan, jika dikaitkan dengan masalah fiqh, maka peran akal dan naql berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf), dan jika dikaitkan dengan akhlaq atau tasawuf, maka akal dan naql berhubungan dengan hubungan spiritual antara manusia dengan tuhannya.

Baik dalam ruang lingkup akidah, fiqh dan tasawuf, Aswaja memiliki prinsip manhaj taqdîm al-nash ‘alâ al-naql. Maka paham keagamaan Aswaja dengan manhaj seperti itu selalu berorientasi mengedepankan nash daripada akal. Berbeda dengan paham Mu’tazilah, meskipun sama-sama mengacu pada nash. Aswaja tidak terlalu mendalam dalam menggunakan pendekatan akal, sehingga tidak memberikan akses, bahwa nash dalam agama harus sejalan dengan makna yang ditangkap oleh akal, tetapi akal hanyalah menjadi alat bantu untuk memahami nash. Karena itu, penafsiran nash agama tidak selalu harus sejalan dengan akal. Meskipun dengan pertimbangan yang matang sekalipun, akal seringkali salah daya tangkapnya.[]


Konsep Aswaja

Dalam Konteks Kehidupan Berbangsa
Konsep Jama’ah bisa memberikan justifikasi religius bagi partisipasi masyarakat Indonesia dalam kerangka bernegara dan berbangsa. Mengaku dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah, mereka berikrar kepada Tuhannya bahwa mereka akan mengabdikan diri, selain pada realisasi nilai-nilai luhur yang ada dalam Sunnah Nabi, juga pada pembangunan Jama’ah. Kalau Jama’ah di Indonesia berantakan, kalau orang tidak peduli lagi dengan nasib kebanyakan orang, dan kalau orang merusak masa depan orang kebanyakan, berarti klaim mereka sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah patut dipertanyakan.
Kata-kata “Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,” atau bisa juga ditulis “Ahlussunnah wal-Jama’ah (Aswaja),” sudah lama dan berulangkali muncul di jagad Indonesia. Lebih dari 70 tahun yang lalu NU mendeklarasikan dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah. Demikian halnya Muhammadiyah, kelompok yang biasanya dipersebrangkan dengan NU. Orang-orang Islam di luar kedua ormas ini pada umumnya juga menyebut dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Gerakan Shi’ah di Indonesia dilawan dengan slogan Ahlussunnah wal-Jama’ah. Shi’ah ditolak karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlussunnah wal-Jama’ah. Terakhir ada kelompok yang “berjihad” ke Ambon dan Poso menamakan dirinya Laskar Jihad Ahlsunnah wal-Jama’ah. Tetapi apa sesungguhnya Ahlussunnah wal-Jama’ah itu?
Secara literal Ahlussunnah wal-Jama’ah berarti “Pendukung Sunnah (Nabi Saw) dan Jama’ah.” Para pendukungnya adalah orang-orang yang menjadikan Sunnah Nabi Saw dan Jama’ah sebagai tiang utama bangunan keislaman mereka. Hilang salah satu dari keduanya, bangunan Islamnya goyang, bahkan bisa jadi hancur. Dengan kata lain, orang yang tidak mengikuti Sunnah atau orang yang tidak mengikuti Jama’ah, atau keluar dari Jama’ah, maka dia bukan lagi bagian dari masyarakat Islam.
Penekanan pada Sunnah tidak berarti penafian terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an adalah sumber Islam yang utama. Semua orang Islam dari semua golongan mengakui ini. Tapi isi al-Qur’an begitu umum sehingga tidak cukup untuk dijadikan rujukan dalam penyelesaian detil permasalahan yang dihadapi masyarakat sekarang. Belum lagi persoalan perbedaan penafsiran.
Semakin umum suatu pedoman semakin terbuka untuk ditafsirkan. Maka Khalifah Ali (pemimpin keempat umat Islam sepeningal Nabi Saw), waktu mengirim utusannya menghadapi Khawarij, kelompok yang memisahkan diri dari Ali dan tidak mau mengakui pemerintahannya, wanti-wanti untuk tidak menjadikan al-Qur’an sebagai dasar untuk berargumen dan untuk memperoleh kembali dukungan mereka. “Al-Qur’an itu terlalu umum sehingga apapun yang kamu sampaikan akan ada bantahannya yang juga diambilkan dari al-Qur’an. Berargumenlah dengan Sunnah,”demikian Ali. Jadi walaupun al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam, pada prakteknya Sunnah inilah yang paling sering dirujuk.
Setelah Sunnah, otoritas yang bisa menjelaskan al-Qur’an dan sekaligus menjadi pedoman masyarakat Muslim adalah Jama’ah. Ketika masih hidup, tentu saja Nabi saw yang menjalankan fungsi penjelas wahyu dan pedoman umat ini. Sepeninggalnya, masyarakat Muslim terbagi menjadi dua kelompok: Sunni dan Shi’i. Bagi kelompok Shi’ah, sepeninggal Nabi Saw otoritas jatuh ke tangan turunan Nabi lewat Fatimah dan Ali. Kepemimpinan lalu diwariskan secara turun menurun. Imam, turunan Nabi Saw pemegang otoritas itu, menempati posisi yang sangat penting dalam tradisi Shi’ah.
Bagi orang Sunni, sepeninggal Nabi otoritas jatuh ke tangan masyarakat Islam, yang disebut Jama’ah. Jama’ahlah yang menjdi ‘wakil’ Tuhan di bumi. Jama’ahlah yang menentukan siapa yang akan memegang otoritas politik dan agama. Pemimpin umat dipilih oleh Jama’ah. Keputusan-keputusan apapun yang menyangkut masyarakat Muslim ditentukan oleh Jama’ah lewat musyawarah.
Hasil putusan Jama’ah disebut Ijma’. Sekali diputuskan, Ijma menjadi sumber hukum yang harus diikuti oleh semua anggota Jama’ah. Umar pernah mengatakan bahwa “Tangan Allah itu di atas Jama’ah.” Apa yang baik menurut Jama’ah pasti baik menurut Tuhan. Orang Islam yang keluar dari Jama’ah dianggap bukan Islam. “Barang siapa yang meninggal dalam keadaan lepas dari Jama’ah, maka matinya adalah mati Jahiliyyah,” demikian kata Nabi. Jahiliyyah adalah keadaan seseorang atau suatu masa sebelum Islam.
Konsep Jama’ah bisa memberikan justifikasi religius bagi partisipasi masyarakat Indonesia dalam kerangka bernegara dan berbangsa. Mengaku dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah, mereka berikrar kepada Tuhannya bahwa mereka akan mengabdikan diri, selain pada realisasi nilai-nilai luhur yang ada dalam Sunnah Nabi, juga pada pembangunan Jama’ah. Kalau Jama’ah di Indonesia berantakan, kalau orang tidak peduli lagi dengan nasib kebanyakan orang, dan kalau orang meruksak masa depan orang kebanyakan, berarti klaim mereka sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah patut dipertanyakan.
Identifikasi yang sangat jelas antara Jama’ah dengan Islam ada pada masa Nabi. Waktu menyeru kepada Islam, Nabi kadadang-kadang mengggunakan kata-kata “Masuklah Anda ke Jama’ah.” Maksudnya, masuklah Anda ke dalam Islam. Tetapi perlu diingat bahwa Madinah pada masa Nabi juga dihuni kalangan non-Muslim (antara lain, Yahudi). Pembuatan Piagam Madinah, sebuah dokumen yang berisi hak dan kewajiban masing-masing angggota masyarakat Madinah, tentu saja melibatkan kelompok-kelompok non-Muslim. Analisa terhadap dokumen itu menunjukkan bahwa piagam ini tidak dibuat sekali jadi, tetapi dalam beberapa tahapan melalui negosiasi yang alot.
Sebagai produk dari sebuah negosiasi, tidak semua apa yang ditulis di dalam dokumen itu sesuai dengan keinginan Nabi dan orang-orang Islam. Nabi, misalnya, dalam dokumen itu tidak meletakkan dirinya sebagai pemimpin agama, tetapi lebih sebagai kepala suku. Demikian juga, tidak semua kepentingan orang-orang non-Muslim diakomodasi oleh dokumen tersebut. Masing-masing bergeser dari posisi awal dan berusaha menemukan kesepakatan.
Berasal dari bahasa Arab, jama’ah berarti ‘persatuan’ atau ‘kebersamaan.’ Sembahyang berjama’ah artinya sembahyang bersama-sama. ‘Ijma’ adalah keputusan bersama. Menekankan aspek kebersamaan, Jama’ah lebih dari sekedar persoalan mayoritas minoritas, sehingga simple majority bukanlah mekanisme yang diadopsi untuk memperolah keputusan. Ia adalah instrumen dimana hubungan kemanusiaan, pengakuan adanya perbedaan, partisipasi semua pihak, dan kelegaan bersama dipelihara. Kebersamaan tidak dicapai dengan cara menghilangkan kelompok lain, tetapi dengan cara dialog.
Membangun Jama’ah adalah membangun dialog dan melakukan negosiasi. Dan, perlu diingat, ini adalah Sunnah Nabi Saw.

 


PROSES PERKEMBANGAN ISTILAH
AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH

          Pemikiran Islam yang kita nikmati hari ini tidaklah muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui proses yang panjang ; suatu proses pergumulan yang melibatkan dinamika internal kalangan ummat Islam sendiri dengan faktor eksternal. Oleh karena itu dalam memahami fonomena dan ciri-ciri pemikiran Islam , perlu menempatkannya secara proporsional dalam konteks kesejarahan, agar tidak terjebak dalam pemahaman yang a-historis.
            Salah satu fenomena pemikiran Islam adalah konsep dan pemaknaan Asawaja (Ahlus Sunnah wal Jama’ah). Pemahaman terhadap konsep ini sering dianggap memiliki pemaknaan yang sama sejak zaman Nabi hingga sekarang, di segala ruang dan waktu. Tetapi jika digali secara historis maka istilah ahlus Sunnah wal Jamaah ini merupakan aliran pemikiran yang mengandung spectrum yang luas, ia merupakan gabungan dari pemikiran berbagai kelompok Islam yang ingin mempertahankan dan melestarikan sunnah Nabi dan tradisi baik yang berkembang di kalangan kebanyakan kaum muslimin (al-Jam’ah), yang telah berkembang sekitar abad II sampai dengan V H.

Perkembangan Istilah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah

       Dalam masyarakat Islam , Ahlus Sunnah  Wal jama’ah, telah diakui sebagai ideology dari berbagai gerakan dan organisasi. Di Indonesia yang paling terkenal secara institusi sebagai gerakan pembela Ahlu sunnah wal Jamah adalah Nahdlatul Ulama (NU) dengan batasan mengikuti Pemikiran Asy’ari dan Maturidi (bidang akidah), mengikuti salah satu ampat Madzhab (fiqih), mengikuti al-Ghazali dan al-Baghdadi (ahlak/tasawwuyf). Kalangan Persatuan Tarbiyah Islam(PERTI) merumuskan Asawaja tidak jauh berbeda dengan NU, dengan rumusan yang lebih ketat (karena cenderung meyesatkan pengikut Ibnu Taimiyah dan Wahabi). Sedangkan Matoli’ul  Anwar ,merumuskan Aswaja, secara esensial, tidak jauh berbeda dengan NU, namun gerakan ini dapat mengakomodir Pengikut Ibnu Taqimiyah dan Wahabi. Adapun Kalangan Muhammadiyah, secara implisit juga mengakui ediologi Aswaja. Hal ini bisa kita lihat dalam salah satu keputusan Majlis Tarjih, yang menyatakan bahwa keputusan tentang Iman merupakan aqidah Ahlul Haqqi wassunnah.
       Dari penjelasan di atas , menunjukkan kepada  kita, betapa Aswaja diyakini oleh berbagai kalangan sebagai satu-satunya aliran pemikiran yang benar san selamat, dan telah dipahami dengan pengertian yang beraneka ragam oleh berbagai kelompok gerakan Islam.
            Sebelum istilah Aswaja dikenal sebagai sebutan yang menunjuk kelompok /madzhab dan kekuatan politik tertentu, ada beberapa istilah yang digunakan. Istilah-istilah tersebut memberikan identifikasi terhadap  aliran dan kelompok yang nantinya dikenal dengan Istilah ahlus sunnah wal jamaah.
            Kelompok Hanabilah (pengikut Madzha Hambali) menyebut kelompoknya sebagai Ahlus sunnah wal-jamaah wal-atsar ketika menentang kelompok ahlurra’yi, ahlul kalam dan ahlul bid’ah. Abu Hasan al-Asy’ari dalam bukunya yang berjudul Maqalatul Islamiyah…menyebut aliran pemikiran yang diikutinya dengan istilah Ahlul Hadits was Sunnah, Ahlus Sunnah wa Ashabul Hadits, Ahlu sunnah wal Istiqamah dan Ahlul Haqqi was Sunnah. Istilah-istilah tersebut mengandung beberapa gagasan sebagai berikut:
            Pertama, kata al-Sunnah memberikan pengertian bahwa mereka secara konsisten tidak hanya mengikuti sunnah Nabi saja, tetapi juga mengikuti tradisi para sahabat dan generasi sesudahnya yang disebut dengan ulama’ salaf, sebagai representasi pemahaman Islam yang asli (murni dan jauh dari penyimpangan). Kedua, kata al-Hadits memberikan pengertian akan komitmen mereka untuk selalu mengikuti ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi saw sebagaiu sumber otoritatif setelah al-Qur’an. Ketiga, kata al-Haq, secara eksplisit menganggap bahwa pemahaman mereka tentang Islam itu sebagai satu-satunya kebenaran. Keempat, kata al-Istiqamah menunjukkan konsistensi mereka  untuk selalu terikat dengan keyakinan yang mereka pahami, dan karena itu siap untuk mempertahankannya. Kelima, kata al-Jamaah, menunkjukkan adanya kesadaran histories perjalanan sejarah kaum muslimin atas landasan kekuatan mayoritas. Dengan kata lain mereka akan menjaga kontinuitas sejarah kaum muslimin dari segala bentuk perpecahan  dan disintegrasi.
Maka atas dasar yang terahir  inilah, kelompok Sunni (pengnut Aswaja) mengakui keabsahan  Dinasti Amawiyah dan Abbasiah, walaupun system pemerintahan mereka dilaksanakan dengan praktik nepotisme dan sectarian.
Pada saat itu aliran Asy’ariyah dan Maturidi belum dikenal, sebab aliran ini baru muncul pada abad IV H. Jadi Istilah ahlussunnah yang digunakan sebelum abad IV H lebih tertuju dan menunjuk pada ahlul Hadits. Aswaja dalam pengertian Madzhab,  baru digunakan secara resmi oleh  al-Ukhbari, seorang ulama pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Bersamaan dengan itu muncul kesadaran dari berbagai kelompok gerakan Islam untuk menjadi aswaja dalam pengertian akidah, walaupun aliran fikih mereka berbeda-beda.
Lalu apa ukuran Aswaja pada saat itu.? Jika yang menjadi ukuran adalah pemahaman literer terhadap ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an , sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad bin Hambal dan pengikutnya yang  dikenal anti bid”ah (terutama sepanjang abad IV dan V H), maka sesungguhnya Aswaja itu adalah komunitas muslim yang  ekstrim anti Syi’ah dan Muktazilah (termasuk ahli Kalam), bahkan mereka melakukan perlawanan bersenjata.
Selanjutnya ketika Abu Hasan al-Asy’ari(260-335 H) memproklamirkan diri keluar dari Muktazilah dan membangun pemikirannya sendiri, maka pemikirannya itu nampak lebih cenderung sebagai pendukung ahli Hadits sebagai lawan ahli kalam. Hal ini dapat diketahui melalui kitabnya yang  berjudul “Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah”. Namun dalam perkembangan selanjutnya pemikiran al-Asy’ari mengalami perubahan dan lebih cenderung pada pemikiran ahli Kalam. Hal ini bisa dilihat pada bukunya yang berjudul “Istihsan al-Haudli fi Ilmi al-Kalam”.
Partanyaan yang muncul kemudian, mengapa terjadi pergeseran pemikiran dalam diri al-Asyari?. Ada dua pendapat . Pertama, Ketika al-Asy’ari keluar dari metode berfikir Muktazilah, ia cenderung ekstrim anti Muktazilah sekaligus menyatakan sebagai pembela Ahmad bin Hambal. Pada waktu inilah ia menuangkan pikirannya dalam al-Ibanah. Kemudian setelah kondisinya mulai setabil, maka ia harus menyelesaikan problem teologisnya secara moderat. Dalam kondisi demikian, maka ia menulis buku Istihsan, sebagai kritik terhadap metode berfikir ahli hadits yang cenderung literal. Kemudian ia menulis buku “al-Luma’” sebagai kritik terhadap metode berpikir muktazilah yang cenderung liberal dalam menggunakan akal dan rasio. Melalui buku al-Luma’ , ini metode berpikir al-Asyari menjadi penengah dan menjadi titik temu antara penggunaan dalil nash dan akal. Maka metode inilah (tawassuth, tawazun) yang dijadikan paradigma pemikiran kalangan Aswaja dalam menghadapi ber bagai persoalan teologis.
Ke dua, al-Asy’ari  menulis buku “al-Ibanah” dibawah tekanan kelompok Hanabilah yang sangat ekstrim dan kasar dalam mengancurkan para pemikir yang berbeda dengannya. Dalam kaadaan demikianm, maka Al-Asyari menulis al-Ibanah, yang isinya antara lain memuji Ahmad bin Hambal dan pemikirannya, guna menangkan suasana. Namun setelah suasana lebih kondusif, al-Asyari menulis buku Istihsan, yang mengkritik pemikiran dan pengikut ahli hadits (pengukut Ahmad bin Hambal) sebagai orang “bodoh” karena terlalu fanatin dan anti takwil.
Pada saat yang hampir bersamaan, di kota Samarkand muncul tokoh Abu Mansur al-Maturidi (333 H)yang juga merumuskan teologinya berdasar pemikiran yang moderat. Secara metodologis rumusannya banyak kesamaan dengan teologi Asy’ariyah. Yang agak berbeda antara teologi As’ary dan Maturidi ialah dalam hal menentukan nilai baik dan buruk, mengetahui adanya Tuhan dan masalah Ikhtiyar manusia. Dalam hal ini Maturidi lebih liberal dari As’ari, sebab menurut Maturidi, akal dapat mengetahui ketiga persoalan tersebut. Sementara bagi As’ari, akal baru tahu setelah ada petunjuk wahyu.  Perbandingan antara pemikiran Asy’ari dan Maturidi ini selanjutnya dikembangkan oleh al-Baqilani (1013 H), al-Baghdadi (1037 H), al-Juwaini (1087 H ) al-Ghazali dll. Melalui pengembangan ini, maka teologi Aswaja akhirnya menemukan bentuknya yang sempurna dalam rangka menghadapi problem teologis pada kurun waktu abad IV-V H.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa embrio teologi Aswaja yang semula ditentukan oleh kalangan ahli Hadits dengan tokoh sentralnya Ahmad bin Hambal, setelah tampilnya al-Asy’ari , al-Maturidi dan murud-muridnya, maka teologi Aswaja tersebut mengalami “rasionalisasi”. Corak pemikiran ini kemudian disebut sebagai “Sunni Khalafi”(Aswaja Khalafi). Sedangkan corak pemikiran ahli hadits disebut “sunni Salafi” (Aswaja Salafi). Dari penjelasan ini maka dapat dipahami mengapa pada abad IV-V H sering terjadi konflik internal Aswaja antara  salafi dan khalafi. Konflik ini demikian parah, karena saling mengkafirkan, bahkan dirasakan sendiri oleh Al-Asy’ari. Kaum Hanabilah sangat beringas. Ketika al-Asy’ari wafat, jasadnya dikebumikan secara rahasia di Syir’at Mazaya, dan batu nisannya dihilangkan, karena hawatir kelompok Hanabilah membongkar dan menbakar jasadnya.
Pertikaian antara Aswaja salafi dan khalafi terus berlanjut, bahkan kaum Salafi dapat dikatakan unggul, karena didukung oleh para penguasa. Salah satu contohnya adalah Khalifah al-Qa’im (abad V H)  menegaskan untuk  membenarkan akidah Salafi, dan mengutuk teologi Muktazilah dan Aswaja Khalafi.  Teologi Aswaja Khalafi baru bisa leluasa pada masa al-Ghazali (450-505 H), akibat dukungan tidak langsung dari seorang wazir bernama Nidzamul Muluk. Pada masa ini konflik bisa diredam, sehingga al-Ghazali dapat mengembangkan Aswaja Khalafi melalui bukunya “Al-Iqtishad fil i’tiqad”. Dari mulai masa al-Ghazali inilah Aswaja Khalafi mengalami perkembangan cukup pesat, karena ajarannya yang moderat (i’tidal/tawassuth).  Sementara Aswaja Salafi mulai redup, karena sifat ektrimnya(tatharruf). Teologi Aswaja Salafi mulai bangkit kembali mulai masa Ibnu Taimiyah (abad VIII H).

Khatimah

            Dari penjelasan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa istilah Alus Sunnah wal Jamaah sebagai aliran pemikiran dan sebagai madzhab, tidak serta merta terbentuk dan menjadi baku. Sejarah menunjukkan bahwa pemikiran sunni dalam bidang teologi, hukum dan tasawwuf, tidak terbentuk dalam satu masa, tetapi muncul secara bertahap dalam kurun waktu yang berbeda. Masing-masing bidang diformulasikan oleh para ulama yang hidup dalam kurun yang berbeda pula. Dengan demikian paham Aswaja adalah akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan oleh para ulama untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul pada zaman tertentu.
            Penjelasan ini bukan berarti paham Aswaja tidak memiliki format dasar yang baku. Para ulama sepakat bahwa sejak permulaan Islam, paham ini sudah memiliki format dasar yang baku, yaitu  suatu pemikiran keagamaan yang menjadikan hadits Nabi saw sebagai rujukan utamanya. Secara umum, Aswaja dapat  di bagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, kelompok ahli hadits yang dipelopori Imam Ahmad bin Hambal, dan kemudian dikemmbangkan oleh Ibnu Taimiyah. Aliran pemikiran ini disebut dengan Aswaja Salafi (Sunni Salafi). Kedua, Ahli Kalam yang dipelopori Al-Asy’ari dan al-Maturidi, kemudian dikembangkan oleh Al-Juwaini, al-Baqilani, al-Ghazali, dan di masa modern dikembangkan antara lain oleh Muhammad Adduh. Aliran ini disebut sebagai Aswaja Khalafi (Sunni Khalafi).
            Sebagai suatu istilah, Ahlussunnah wal jamaah sudah dikenal sejah zaman Nabi saw dan sahabatnya, tetapi sebagai aliran pemikiran, baru dikenal pada abad III H. yang diwakili kelompok ahli hadits, kemudian dirasionalisasikan oleh Al-Asy’ari dan al-Maturidi.

   Ahlussunnah Wal Jama’ah
SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR

PENGANTAR

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian integral dari sistem keorganisasian NU. Dalam landasan organisasi disebutkan bahwa Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan Tauhid. Lebih dari itu, disadari atau tidak Aswaja merupakan bagian kehidupan sehari-hari setiap anggota/kader organisasi. Akarnya tertananam dalam pada pemahaman dan perilaku penghayatan kita masing-masing dalam menjalankan Islam.

Selama ini proses reformulasi Ahlussunnah wal Jama’ah telah berjalan, bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Tahun 1994, dimotori oleh KH Said Agil Siraj muncul gugatan terhadap Aswaja yang sampai saat itu diperlakukan sebagai sebuah madzhab. Padahal di dalam Aswaja terdapat berbagai madzhab, khususnya dalam bidang fiqh. Selain itu, gugatan muncul karena melihat perkembangan zaman yang sangat cepat dan membutuhkan respon yang kontekstual dan cepat pula. Dari latar belakang tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan isi Aswaja sebagaimana selama ini digunakan, lahirlah gagasan ahlussunnah wal-jama’ah sebagai manhaj al-fikr (metode berpikir).

NU melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan perkembangan zaman, selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja selama ini yang terkesan terlalu kaku. Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman.  

Bagi NU Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun relevansi dan makna tersebut sangat tergantung kepada kita, pemeluk dan penganutnya, memperlakukan dan mengamalkan Islam. Di sini, NU sekali lagi melihat bahwa Aswaja merupakan pilihan paling tepat di tengah kenyataan masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya dan agama.

SKETSA SEJARAH

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.

Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang mulai zaman al-khulafa’ ar-rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.

Selain tiga golongan tersebut masih ada Murjiah dan Qadariah, faham bahwa segala sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (af’al al-ibad min al-ibad) – berlawanan dengan faham Jabariyah.

Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu. 

Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.

Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya tergabung – baik tergabung secara sadar maupun tidak – dalam jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.

PENGERTIAN

Secara semantik arti Ahlussunnah wal jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut aliran atau pengikut madzhab (ashab al-madzhab).

Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadist. Di sambungkan dengan ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Shahabat dan tabi’in.

Nahdlatul ‘Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja. Dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan di mana dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.

Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?

Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para Ulama dimaksud. Pengertian ini dipandang sudah tidak lagi relevan lagi dengan perkembangan zaman mengingat perkembangan situasi yang berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk menghadapinya. Selain itu, pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana mungkin terdapat madzhab di dalam madzhab?

Dua gugatan tersebut dan banyak lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi, yang menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau metode berpikir.

ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR

Para ulama sepakat bahwa Ahlussunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.

Sebagai manhaj al-fikr, Aswaja berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran). Moderat  tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an dan al-Hadist) dengan penggunaan akal. Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal Masehi antara golongan yang sangat menekankan akal (mu’tazilah)  dan golongan Ali Hadits.

Sikap netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau kepemerintahan dari kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, pandangan Aswaja tidak terkotak dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Aswaja, oleh karena itu tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak juga berarti mendukung sebuah pemerintahan. Apa yang dikandung dalam sikap tawazun tersebut adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan sosial-politik berjalan, apakah memenuhi kaidah atau tidak.

Keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul sebagai Muslim dengan golongan Muslim atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis, ideologi politik dan agama, dipandang bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah SWT memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.

PRINSIP ASWAJA SEBAGAI MANHAJ

Berikut ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Aqidah, pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.

  1. AQIDAH
Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah di antaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT.

Pada tiga abad pertama Hijriyah, terjadi banyak perdebatan mengenai Esksitensi sifat dan asma Allah SWT. Dimana terjadi diskursus terkait masalah apakah Asma Allah tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan yang dinamai (musamma), Sifat bukanlah yang disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.

Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.

Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap manusia.

Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.

  1. BIDANG SOSIAL POLITIK
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah), Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).

Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:

  1. Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah sebagai berikut:
!$yJsù LäêŠÏ?ré& `ÏiB &äóÓx« ßì»tFyJsù Ío4quŠptø:$# $u÷R9$# ( $tBur yZÏã «!$# ׎öyz 4s+ö/r&ur tûïÏ%©#Ï9 (#qãZtB#uä 4n?tãur öNÍkÍh5u tbqè=©.uqtGtƒ ÇÌÏÈ   tûïÏ%©!$#ur tbqç7Ï^tGøgs uŽÈµ¯»t6x. ÄNøOM}$# |·Ïmºuqxÿø9$#ur #sŒÎ)ur $tB (#qç6ÅÒxî öNèd tbrãÏÿøótƒ ÇÌÐÈ   tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÑÈ   tûïÏ%©!$#ur !#sŒÎ) ãNåku5$|¹r& ÞÓøöt7ø9$# öLèe tbrãÅÁtG^tƒ ÇÌÒÈ  
“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. (QS Al-Syura, 42: 36-39)

  1. Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang memerintahkan keadilan.
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS An-Nisa, 4: 58)

  1. Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan) 
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima), yaitu:
·         Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
·         Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
·         Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
·         Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
·         Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.

Al-Ushulul Khams identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern – bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip di atas menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari.

  1. Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat Al-Hujuraat disebutkan:

$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujuraat, 49: 13)

Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah.

!9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ  
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (Al-Maidah; 5: 48)

Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.

Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.

  1. BIDANG ISTINBATH AL-HUKM (Pengambilan Hukum Syari’ah)
Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu:
1.      Al-Qur’an
2.      As-Sunnah
3.      Ijma’
4.      Qiyas
 
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan. Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.

Sementara As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.

As-Sunnah sendiri mempunyai tingkat kekuatan yang bervariasi. Ada yang terus-menerus (mutawatir), terkenal (masyhur) ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat As-Sunnah tersebut dilakukan oleh Ijma’ Shahabah.

Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus.

Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: 115  “Dan barang siapa menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” Dan “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia..” QS Al-Baqarah, 2:  143.

Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para Ulama. Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.

  1. TASAWUF
Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan "Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apa pun."

Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah… Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.”

“berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apapun” kata Imam Al-Junaid, lalu “menyucikan hati dari apa saja selain Allah.... Mereka (kaum Sufi) telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah..,” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.

Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah harus diwujudkan.

Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara,  Abu Sa’id Al Kharraj sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani, dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan urusan duniawi.

Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik.

PENUTUP
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis dan sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan. Sebagai sebuah metode pemahaman dan penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat disamakan dengan metode akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas pendekatan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi prosedur yang teliti dan nyaris pasti. Namunpun demikian dalam ruang akademis pembaharuan atau perubahan sangat mungkin terjadi.

Sebagai metode berpikir, boleh jadi pada saatnya nanti Aswaja akan memiliki kadar teknikalitas sama tinggi dengan metode ilmiah. Namun dalam pandangan kami upaya pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap Aswaja perlu kita upayakan bersama-sama terlebih dahulu. Khususnya terhadap apa yang telah kami sajikan di sini, yang sangat butuh banyak masukan. Sebuah kebutuhan lanjut, semacam jabaran teknis untuk memandu langkah per langkah tindakan dan pandangan gerakan, akan muncul kemudian apabila kenyataan lapangan sungguh-sungguh menuntut dan membutuhkannya. Akan tetapi sepanjang kebutuhan primer kolektif kita masih terletak pada memahami, hal semacam itu kami pandang belum menjadi kebutuhan objektif[.]

Ahlussunnah wal Jama’ah bukan itu…
05/02/2008
Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah serangkaian tuntunan hidup yang diajarkan oleh para kiai, ustadz, atau guru di pesantren-pesantren, madrasah atau sekolah dan sudah kita amalkan saat ini. Banyak kalangan, khususnya kader NU sendiri, yang salah faham menganggap Aswaja terpisah dari amal keseharian sehingga membutuhkan disiplin ilmu atau kajian khusus, dan ternyata yang kemudian dibahas hanyalah sekelumit sejarah Aswaja, bukan Aswaja itu sendiri. Banyak juga yang berkutat pada pemahaman Aswaja secara teoritik tapi tidak masuk ke dalam substansi Aswaja itu sendiri. Banyak yang hanya mengklaim diri sebagai kelompok Aswaja tapi tidak mengamalkan ajaran Aswaja itu sendiri.

Demikian Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan sesepuh Nahdliyin KH Muchit Muzadi saat berbincang dengan A Khoirul Anam dari NU Online bersama Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Wafa Patria Ummah dan dua kru majalah Reg@nita PP IPPNU, Ummu Sofiyah dan Durrotun Aniqoh, di sela sela ucara Puncak Peringatan Hari Lahir (Harlah) Ke-82 NU di Jakarta, Sabtu (2/2). Berikut kutipan lengkapnya:


Sebenarnya apakah Aswaja itu?

Secara umum Aswaja itu ya mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW, melalui praktek-praktik yang dilakukan para Sahabat Nabi, tabiin, mujtahidin, imam madzhab, dan seterusnya. Dan itu sudah kita praktikkan sehari-hari. Aswaja itu berisi ajaran tauhid, fikih, tasawuf, dan seterusnya. Kita tidak sadar bahwa itu sudah Aswaja.

Oleh karena itu jadinya kita sering salah faham sehingga perlu membuat bidang studi khusus bernama Aswaja itu. Bidang itu biasanya mengenai sejarah Aswaja, asal usulnya dan seterusnya. Padahal sesungguhnya materi atau substansi Aswaja sudah kita pelajari di madrasah, di pesantren, di sekolah-sekolah terutama yang masih menggunakan kitab-kitab kuning yang kita sebut dengan kutubul mu’tabarah, kitab-kitab yang muktabar.

Katakanlah ketika kita belajar fikih mengenai sholat bahwa arkanus sholati sab’ata asyara (rukun shalat ada 17 acam) itu sesungguhnya itu sudah bagian dari materi fikih Aswaja. Ketika kita mempelajari furudul wudlu sittatun (wudlu itu harus mengerjakan 6 perkara) itu ADALAH bagian dari fikih Aswaja. Ketika kita belajar sifat sifat wajib Allah yang 20 itu berarti kita sedang memperlajari Aswaja di bidang tauhid. Ketika kita memperlajari akhlak, bahwa para sahabat itu adalah orang-orang yang paling dekat dengan Rasul yang punya kesibukan khusus di dalam proses pewarisan ajaran Islam itu namanya juga Aswaja.

Ketika kita memperlajari bahwa sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali atau khulafaur rasyidin, orang-orang yang terbaik di antara sahabat itu sudah termasuk ajaran Aswaja. Ketika kita mempelajari bahwa tawadlu (rendah hati) itu bagus tapi takabbur (sombong, angkuh) itu jelek berarti kita sedang mempeklajari Aswaja di bidang ahlak.

Jadi, selama ini yang dipelajari secara khusus dalam materi Aswaja itu sebenarnya bukan Aswaja?


Selama ini bukan masalah isi dari ajaran Aswaja itu yang kita anggap sebagai Aswaja. Materi Aswaja itu baru kita anggep aswaja kalau kita bicara Imam As’ary, Imam Maturidi, dan lainnya. Padahal sesungguhnya ajaran yang dipelopori oleh imam asy’ary atau oleh imam Maturidi yang diajarkan kepada murid-muridnya kemudian sampai Imam Sanusi yang kemudian beliau merumuskan sifat wajib Allah yang 20 itu kita sebenarnya hanya sampai kepada itu saja, tidak sampai kepada semuanya.

Saya itu termasuk orang yang sering diundang oleh IPPNU, IPNU , PMII Ansor, untuk menyampaikan materi mengenai Aswaja. Biasanya saya hanya menerangkan tentang sejarah Aswaja. Tetapi materi Aswajanya itu sendiri tidak sempat saya sampaikan karena memang waktunya terbatas dan isi aswaja itu begitu luas mulai dari masalah akidah, kepercayaan, fikih, tasawuf.

Saya selalu mengkampanyekan bahwa aswaja itu begitu. Ini yang menurut saya sangat penting diingat. Aswaja selama ini kita asnggap terpisah dari apa yang selama ini kita pelajari. Ini menurut saya satu kekeliruan, yang perlu kita benahi. Saya tidak biacara kesalahan, tapi kekeliruan.

Banyak golongan yang menganggap diri paling Aswaja?

Sebenarnya tidak penting kita itu disebut kelompok Aswaja apa tidak, yang penting kita sendiri berakidah Aswaja, bersyariat Aswaja, berakhlak Aswaja.

Makanya kita tidak perlu memasalahkan Aswaja secara teoritis yang intelektualistis. Misalnya KH Said Aqil Siradj meributkan apakah Aswaja itu madzab aqwal, pendapat-pendapat yang sudah mapan, apa metode berfikir atau manhajul fiqr, silakan itu urusannya Pak Said dengan orang-orag yang pintar-pintar itu, wong nanti juga ujung-ujungnya akan kembali ke aqwal. Tapi kalau urusan saya bersama anak-anak IPPNU, IPNU, PMII, Ansor itu bagaimana Aswaja itu yang sudah kita pelajari selama ini. Setidaknya kita sadar bahwa ajaran Aswaja telah kita ketahui, kita yakini, dan kita amalkan. Jadi kita tidak berputar-putar dalam bayangan teori saja.

Selama ini saya sadar bahwa selama ini saya bercerita soal Aswaja itu ikut-ikut pengaruh saja, jadi ngeleang gitu, mengawang.

Bagaimana mensosialisikan pemahaman seperti ini?

Menurut saya, sekarang ini kita tidak usah muluk-muluk. Bayangkan pada tahun 1955 ketika NU itu berpisah dari Masyumi yang semula jadi satu. Ini kan kita mulai ngomong apa bedanya NU dan Masyumi. Waktu itu, kita tarik orang-orang Masyumi untuk jadi NU atau orang NU yang jadi masyumi untuk kembali ke NU. Bahkan orang yang nggak tahu NU dan masyumi kita untuk menjadi Masyumi. Sulit sekali waktu itu, terutama di daerah Tuban, Jawa Timur, yang agamanya kurang kuat, NU-nya belum tampak sama sekali. Saya katakan NU itu beda dengan Masyumi dan lebih baik, supaya mereka mau pilih NU. Nah sekarang tidak ada tantangan seperti itu.

Perlu disosialisasikan bahwa NU itu ya Islam yang biasa-biasa saja. Kalau yang ada yang meninggal diselameti. Dulu kita ngomong tahlil itu saja harus hati-hati karena tidak mengerti tahlil, ngertinya selamatan. Tapi sekarang tidak ada tantangan seperti itu.

Jadi beda antara model dakwah Wali Songo dan lembaga dakwah Islam Indonesia. Wali Songo itu dakwanya menyuntuh dan difahami oleh orang. Berbeda dengan mereka yang mengaku memurnikan Islam anti TBC, taklid, bid’ah, khurofat. Ternyata yang mengerti negerti dan mengikuti itu hanya satu-dua orang. Umat di bawah tetep selamatan. Jadi menurut saya yang penting adalah pendekatannya bagaimana.

Banyak kader NU sendiri yang justru tidak mengerti dalil-dalil amaliyah Aswaja, terutama disadari setelah jadi mahasiswa, sehingga banyak yang kemudian pindah aliran?


Dulu itu cara kita menerangkan ajaran Aswaja ya memakai alat kitab kuning. Tapi sekarang yang ada hanya kitab paket Departemen Agama yang banyak nggak nyebut masalah talkin mayyit dan lain-lain yang menjadi amaliyan NU. Bahkan malah ditutup-tutupi terutama pada masa Orde Baru, saat Departemen Agama dikuasai non-NU. Sekarang cuma ada beberapa madrasah saja yang tetap ada kitab kuning. Jadi sudah terlanjur begitu. Makanya kita perlu menggiatkan program semacam Training or Trainer (ToT), pelatihan untuk para pelatih Aswaja di kalangan IPPNU, IPNU, PMII atau Gerakan Pemuda Ansor. Dan pemahaman mengenai Aswaja harus lebih ditekankan pada isinya, bukan sejarahnya atau teorinya saja.

 



[1] Membaca realitas kaum muslimin saat ini, mayoritas, masih memperlakukan Islam hanya sebagai identitas keagamaan. Oleh karena itu belum memancar secara tajam pada tingkah laku social budaya. Sholat misalnya hanya berhenti sebagai sembahyang, sedang hidup diluar surau merupakan urusan tersendiri. Kita belum cukup mendidik diri dan mengasah arti  bagaimana supaya peribadatan itu dapat dilaksanakan secara utuh dan bermakna dalam meningkatkan kualitas sebagai hamba dan sekaligus sebagai khalifah Allah.
[2] Apa yang dirumuskan Discartes sesungguhnya merupakan kelanjutan dari apa yang dirintis kaum muslimin pada decade permulaan abad 9 Masehi, dengan bertdirinya Baitul Hikmah yang dirintis Khalifah Al-Makmun. Menurut Gustave Le Bon, terjemahan buku-buku bahasa Arablah yang  membentuk  pengajaran pada Universitas2 di Barat selam kurang lebih 500 atau 600 tahun , hingga pengaruh Arab di Eropa demikian besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar